RUMUSAN HASIL DIALOG
PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL
ANTARA PEMUKA AGAMA PUSAT DAN PEMUKA AGAMA DAERAH
DI PROVINSI MALUKU UTARA
Tanggal 27 - 30 Mei 2009
I. Pendahuluan
Pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dengan pemuka agama daerah melalui dialog merupakan salah satu kegiatan penting bagi terciptanya kehidupan yang lebih rukun antar umat beragama di masa sekarang maupun yang akan datang. Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 pada Bab 31 huruf C nomor 2 disebutkan tentang arah kebijakan peningkatan kualitas kehidupan beragama yaitu melalui Peningkatan Kerukunan Intern dan Antar Umat Beragama. Hal ini mengindikasikan bahwa kerukunan umat beragama merupakan aspek penting yang perlu diupayakan.
Seperti diketahui masyarakat Indonesia yang majemuk memang rentan terhadap kemungkinan timbulnya kesalahpahaman yang menjurus kearah terjadinya konflik. Melalui kegiatan ini selain diupayakan dapat terjalin hubungan yang lebih harmonis antara para pemimpin agama dari agama yang berbeda, juga dilakukan pengembangan temu wawasan sehingga diharapkan dapat memperluas wawasan multikultural serta meningkatkan keterbukaan, saling pengertian serta saling menghargai di antara pemimpin agama pusat dan daerah, membangun visi dan misi bersama tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama ke depan, serta menginventarisir kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan umat beragama. Dengan kegiatan ini pula, berbagai sekat perbedaan baik vertikal maupun horizontal yang ada dalam masyarakat, diharapkan dapat terjembatani.
Pentingnya acara dialog ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, yang melakukan dialog adalah para pemuka agama, yaitu pemuka-pemuka agama dari majelis-majelis agama dari pusat (Jakarta) dan pemuka-pemuka agama dari daerah khususnya dari Halmahera Barat. Kedua, dialog ini berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan wawasan multikultural, dalam rangka mencari cara efektif mengelola kemajemukan dan keragaman masyarakat Indonesia. Ketiga, dialog kali ini dilakukan di sebuah wilayah yang memiliki karakter khusus yaitu wilayah kepulauan. Dalam wilayah kepulauan seperti di Provinsi Maluku Utara ini tantangan kerukunan umat beragama menjadi semakin dinamis, karena sarana transportasi dan komunikasi yang masih terus harus dibangun.
Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural telah dilaksanakan sejak tahun 2002. sampai dengan tahun 2008 telah dilaksanakan di 22 (dua puluh dua) provinsi. Dialog di Provinsi Maluku Utara yang merupakan provinsi ke 23 (dua puluh tiga) berlangsung tanggal 27 – 30 Mei 2009. dialog ini memiliki makna penting bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama di wilayah tersebut yang selama ini terlihat telah kondusif.
II. Tujuan
Kegiatan Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah ini bertujuan:
A. Memperlancar komunikasi antar pemuka agama, baik pemuka agama pusat maupun antar sesama pemuka agama daerah.
B. Menumbuhkan wawasan multikultural serta sikap saling menghargai dan mempercayai di antara pemimpin/pemuka agama pusat dan daerah.
C. Mengembangkan visi dan misi bersama para pemimpin/pemuka agama pusat dan daerah tentang pembinaan kerukunan hidup beragama yang lebih dinamis di masa depan, khususnya peningkatan kerjasama nyata dalam menanggulangi masalah-masalah hubungan antar umat beragama dan kerawanan sosial.
D. Menginventarisir kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan umat beragama dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong atau mungkin kurang mendorong kerukunan umat beragama.
III. Bentuk Kegiatan dan Proses Dialog
A. Penelitian tentang Potensi Konflik dan Integrasi dalam Kerangka Pengembangan dan Peningkatan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Sebelum peserta Dialog berangkat ke Maluku Utara, 2 (dua) orang peneliti melakukan penelitian lapangan yang hasilnya dijadikan bahan masukan bagi para peserta Dialog untuk memperoleh gambaran tentang kehidupan keagamaan di Provinsi Maluku Utara;
B. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Provinsi Maluku Utara dalam bentuk audiensi dengan Wakil Gubernur Maluku Utara di Aula Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 Mei 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Dialog diawali pidato pembukaan oleh Wakil Gubernur Maluku Utara.
C. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Kabupaten Halmahera Barat dilaksanakan di Aula Kantor Bupati Kabupaten Halmahera Barat pada tanggal 28 Mei 2009. Dengan jumlah peserta sebanyak 100 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Dialog diawali pidato pembukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Barat.
D. Kunjungan silaturrahim ke rumah-rumah ibadat (Pura Siwa Jagat Karana di Kota Ternate; Gereja Efrata di Kabupaten Halmahera Barat; Gereja Katolik St Fransiskus Xaverius di Kabupaten Halmahera Barat; Masjid Muhajirin di Kabupaten Halmahera Barat; dan Klenteng Thian Ho Kiang di Kota Ternate), sekaligus menyampaikan cendera mata (bantuan) untuk rumah ibadat yang dikunjungi masing-masing sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Untuk umat Budha, karena belum memiliki rumah ibadat, kunjungan dilakukan di Pura Siwa Jagat Karana sekaligus silaturrahim dengan umat Hindu.
E. Dialog diakhiri dengan ramah tamah dan perpisahan dengan Kepala Kanwil Departemen Agama dan unsur Pejabat Kanwil Departemen Agama serta Ketua FKUB Kota Ternate pada malam Sabtu, tanggal 29 Mei 2009 yang dilakukan di rumah makan ”Floridas“.
IV. Peserta
Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 – 30 Mei 2009 dilakukan di dua tempat yaitu tingkat Provinsi Maluku Utara dan tingkat Kabupaten Halmahera Barat. Pada tingkat Provinsi dilaksanakan dalam bentuk audiensi dengan pihak Wakil Gubernur Maluku Utara di Aula Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 Mei 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Pada tingkat Kabupaten dilaksanakan di Aula Kantor Bupati Kabupaten Halmahera Barat pada tanggal 28 Mei 2009, dengan jumlah peserta sebanyak 100 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Rincian peserta adalah sebagai berikut:
A. Peserta Audiensi Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Pemuka Agama Daerah dengan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara, terdiri dari unsur-unsur:
1. Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah ( Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
2. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pusat dan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH);
3. Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), dan Paroki St Willy Boordus, Ternate;
4. Pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan Daerah (Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
5. Pimpinan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) Pusat dan Majelis Pandita Budha Mayteriya (MAPANBUMI) Provinsi Maluku Utara;
6. Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Provinsi Maluku Utara;
7. Anggota Komisi VIII DPR RI;
8. Staf Ahli Menag Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan Departemen Agama;
9. Staf Ahli Menteri Koordinator Kesra;
10. Kasubdit pada Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri;
11. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Pusat dan wilayah, dan cabang (Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
12. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wilayah dan Daerah;
13. Dewan Penasehat dan Sekretaris FKUB Provinsi Maluku Utara, tokoh agama dan masyarakat Provinsi Maluku Utara;
14. Ketua FKUB Kota Ternate, tokoh agama dan masyarakat Kota Ternate;
15. Pejabat Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara;
16. Pejabat Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara;
17. Pejabat Eselon I, II, dan III Departemen Agama Pusat;
18. Peneliti Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
B. Peserta Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Pemuka Agama di Kabupaten Halmahera Barat yang terdiri dari unsur-unsur:
1. Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan MUI Kabupaten Halmahera Barat;
2. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pusat dan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH);
3. Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), dan Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Tedeng Halmahera Barat;
4. Pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat;
5. Pimpinan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) Pusat;
6. Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN);
7. Anggota Komisi VIII DPR RI;
8. Staf Ahli Menag Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan Departemen Agama;
9. Staf Ahli Menteri Koordinator Kesra;
10. Kasubdit pada Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri;
11. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Pusat dan cabang Halmahera Barat;
12. Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Daerah;
13. Pengurus dan Dewan Penasehat FKUB Kabupaten Halmehera Barat, Tokoh agama dan masyarakat Kabupaten Halmahera Barat;
14. Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat;
15. Pejabat Kantor Departemen Agama Kabupaten Halmahera Barat;
16. Pejabat Eselon I, II, dan III Departemen Agama Pusat;
17. Peneliti Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
V. Pengarahan –Pengarahan
A. Menteri Agama RI
Menteri agama dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan antara lain menyampaikan:
Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama. Kita sudah terbiasa menerimanya dengan hidup berdampingan secara damai dalam balutan semangat kesatuan bangsa. Namun penerimaan perbedaan saja tanpa pemahaman yang mendalam akan arti dan hakikat yang sesungguhnya dari perbedaan tersebut ternyata masih sangat rentan terhadap godaan kepentingan primordialisme dan egosentrisme individu maupun kelompok, terutama bila hal itu terkait dengan aspek politik (kekuasaan) maupun ekonomi (sumber daya). Ketika godaan itu muncul, tidak jarang kedamaian menjadi terganggu.
Gangguan kedamaian itu akan mudah meluas manakala sentimen dan simbol-simbol keagamaan dipakai sebagai sumbu atau pemicu. Ini bisa kita mengerti karena sentimen keagamaan berakar jauh menghunjam ke dalam jiwa dan sanubari setiap insan. Para pakar ilmu sosial berpendapat bahwa memang inilah yang sesungguhnya terjadi dan kita kenal sebagai konflik sosial yang bernuansa agama yang pernah ada dan terjadi di sekitar kita selama ini. Seringkali konflik sosial yang bernuansa agama itu pada awalnya hanya merupakan konflik ekonomi atau politik, kemudian dibalut dengan agama.
Untuk itu, dialog pengembangan wawasan multikultural oleh para pemuka agama menjadi sangat penting artinya. Tujuannya sudah barang tentu adalah untuk mencari model baru dalam merajut kembali dan memperkuat kerukunan umat beragama dan berbangsa yang dulu pernah mantap namun juga pernah terusik. Mudah-mudahan dialog ini mampu membantu memelihara dan meningkatkan kerukunan yang mantap, dinamis dan lestari.
B. Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara
C. Bupati Kabupaten Halmahera Barat
D. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara (waktu penutupan/ramah tamah di rumah makan Floridas)
VI. Potensi Kerukunan.
Berdasarkan hasil penelitian, paparan dari para pemakalah dan tanggapan dari peserta maka diperoleh beberapa hal yang dipandang positif bagi upaya menciptakan suasana dan kondisi kerukunan yaitu:
A. Peranan Kesultanan
Di Maluku Utara dulu terdapat 4 kerajaan yaitu, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Kerajaan Jailolo dan Kerajaan Bacan. Keempat kerajaan ini kemudian bersatu dengan bentuk konfederasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan ”Moloku Kie Raha. Kesatuan Moloku Kie Raha dilandasi oleh falsafah : ”Jou Se Ngofa Ngare”. Yang secara letterlijk berarti : ” Engkau” (penguasa) dan ”Aku” (rakyat); apa yang ada pada engkau, ada pada aku dan sebaliknya apa yang ada pada aku, ada juga pada engkau. Inilah falsafah hukum adat di Makuku Utara, yang merupakan sebuah kesatuan kultural yang majemuk yang terbentuk sejak konfederasi Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322. (Mudaffarsyah, Memahami Maluk Utara, dalam Amas Diensi, Ternate, Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara, hal X111-XV111).Dibawah payung Maloku Kie Raha dengan konsep Jou Se Ngofa Ngare semua suku dan agama dilindungi dan diayomi sehingga sejak dulu sebenarnya Maluku Utara telah menghargai pluralisme budaya dan agama yang sampai sekarang masih berlaku terutama dalam masyarakat adat.
Empat kerajaan yang ada di Maluku Utara semuanya kerajaan Islam, tetapi para rajanya sangat toleran sehingga mereka tidak mau memaksa orang Kristen, harus masuk Islam. Oleh sebab itu Islam berkembang hanya di daerah pesisir, sedangkan di pedalaman banyak penganut agama Kristen.
Hal itu tampak pula di Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan bekas kerajaan Jailolo, dimana umat Kristiani lebih banyak dari umat Islam tetapi mendapat perlindungan dari Sultan Jailolo yang notabene merupakan kerajaan Islam.
B. Faktor Geografis
Situasi dan kondisi Maluku Utara yang terdiri dari kepulauan dan bergunung-gunung memungkinkan masyarakatnya untuk hidup saling membutuhkan dan saling membantu. Umat Kristen yang ada dipedalaman, dan umat Islam yang sebagian besar berada di pesisir sudah barang tentu kedua komunitas ini saling membutuhkan.(MUI Halmahera Barat).
C. Faktor Pemerintah
Pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Barat memberikan bantuan dana dan pengayoman pada semua agama. Pasca kerusuhan semua tempat ibadah diberi bantuan untuk dibangun kembali. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang berasal dari berbagai agama, yang rusak akibat kerusuhan diberi bantuan walaupun hanya sebagai stimulus.
Bupati Halmahera Barat, juga memberikan perhatian pada semua agama. Setiap tahun pemerintah daerah memberikan bantuan pada setiap rumah ibadah, dan setiap tahun melalui anggaran APBD diberangkatkan para imam, pimpinan majelis ta’lim, guru ngaji sebanyak 20 orang untuk menunaikan ibadah haji, dan bantuan bea siswa S.2 untuk melanjutkan studi di bidang teologi bagi umat kristen.
D. Perayaan Bersama Hari-Hari Besar Keagamaan
Pada perayaan dan peringatan hari-hari besar keagamaan pemerintah daerah selalu mengadakannya dengan melibatkan semua umat beragama. Kepanitiaannya dibentuk secara silang, kalau kegiatan kegamaan Islam panitianya dari umat Krsitiani, sedangkan kalau kegiatan keagamaan Kristen panitianya dari umat Islam. Pada kegiatan semacam itu dihadiri oleh pemeluk dan pemuka agama lainnya.
E. Budaya Silaturrahim
Pada hari-hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal (Tahun Baru), para pemuka agama dan umat saling mengunjungi. Mereka merasa bersalah kalau pada hari raya keagamaan tidak saling kunjung mengunjungi.
F. Pembangunan Tempat Ibadah
Dalam pembangunan tempat ibadah di beberapa daerah terdapat budaya saling membantu, karena dalam beberapa keluarga terdapat mereka yang bebeda agama.
G. Hubungan Sosial dan Kekerabatan
Terjalinnya hubungan yang harmonis diantara mereka yang berbeda agama disebabkan adanya ikatan persaudaraan diantara mereka yang berbeda agama. Ikatan kekerabatan itu terjalin karena faktor keturunan maupun berdasarkan perkawinan.
Hubungan kekerabatan itu tampak ketika terjadi upacara perkawinan dan kematian. Begitu juga dalam kegiatan sosial seperti gotong royong dan kerjabakti masyarakat yang berbeda agama dapat bekerja bersama-sama. Dalam budaya Moloku Kie Raha terdapat istilah Maku Gawene (gotong royong) dan Giop (kerjasama menangkap ikan). Budaya seperti ini masih berlaku dibeberapa daerah terutama didaerah pedesaan. Dalam hubungan sosial kegamaan, dalam upacara-upacara tertentu mereka saling menghadiri dan menyumbang kesenian (paduan suara dan qasidahan).
H. Bahasa Melayu Ternate Sebagai Bahasa Persatuan.
Bahasa Melayu Ternate merupakan bahasa yang oleh F.S.A de Cierq (Leiden: 1890) disebut sebagai lingua franca, bahasa persatuan yang menjembatani dari berbagai macam bahasa yang terdapat di Maluku Utara. Oleh faktor-faktor sosiologis dan antropologis, bahasa Ternate menjadi bahasa pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat.Dengan demikian bahasa Melayu Ternate dapat disejajarkan fungsinya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk daerah Maluku Utara.
I. Ikrar Bersama
Setelah terjadi kerusuhan timbul kesadaran bersama diantara pemuka agama bahwa konflik mengakibatkan kerugian bagi semua pihak. Berdasarkan kesadaran itu maka para pemuka agama membuat ikrar bersama, bahwa siapapun yang mencoba menciptakan kerusuhan ditengah masyarakat, dianggap sebagai musuh bersama.
J. Peran FKUB
FKUB mempunyai peranan yang besar dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Maluku Utara. Melalui FKUB para pemuka agama dapat bertemu secara berkala untuk membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat. Dengan saling bertemu, berdialog dapat meningkatkan saling pengertian diantara para pemuka agama.
K. Kearifan Lokal
Di daerah Maluku Utara sebagai daerah bekas kerajaan meninggalkan nilai-nilai filosofis, budaya, dan beberapa ajaran dasar yang melandasi tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.
Soa (kampung) menurut disertasi Christian Frans Van Frassen (Ternate, de Malukken en de Indonesische Archipel, Leiden, 1987) sebagai sebuah tatanan sosial yang demokratis, karena sangat egaliter dan akomodatif terhadap berbagai aliran dan keyakinan keagamaan di Maluku Utara. Keseluruhan tatanan ini bertumpu pada falsafah “Jou Se Ngofa Ngare” sebagai dasarnya, yang merupakan Common Platform yang akomodatif terhadap kemajemukan yang ada ( Mudaffarsyah: hal XV-XVI).
Legu Gam, merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari ulang tahun Sultan. Pada event ini ditampilkan pentas seni budaya berupa tarian-tarian tradisional, pembacaan puisi, pameran kerajinan lokal, hingga kegiatan seminar nasional yang menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, politisi dan budayawan tingkat nasional. Dalam kegiatan ini melibatkan semua unsur masyarakat tanpa melihat suku dan agama yang disandang seseorang. (Amas Dinsie; ibid, 2008, hal 47).
Adat Se Atorang (Adat dan Aturan) dapat dikatakan sebagai prinsip kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam bingkai ”Morimoi Ngone Futuru (bersatu kita teguh). Adat Se Atorang ini masih fungsional dalam perilaku dan tindak tanduk kehidupan bermasyarakat. (Amas Dinsie: Ibid, hal 62).
Falsafah ”Jou Se Ngofa Ngare” yang disimbolkan dalam ”Goheba depolo romdidi”, (dua kepala burung garuda), dan satu hati, mengandung arti bahwa masyarakat Ternate sangat menghargai keanekaragaman kultural. Simbol itu juga melambangkan bahwa penguasa dan rakyat memiliki kesamaan derajat dan kesamaan tujuan demi tercapainya kesejahteraan bersama. (Amas Dinsie, ibid:hal 64).
Kie Se Gam magogugu ma titi rara (enam sila dasar yang menjadi pegangan bagi Sultan,pembantunya dan masyarakat):
1. Adat se Atorang, merupakan hukum dasar yang dipatuhi dan disusun menurut kebiasaan yang dapat diterima masyarakat;
2. Istiadat se Kabasang; Lembaga adat dan kekuasaannya menurut ketentuan;
3. Galib se Lakudi; kebiasaan lama yang menjadi pegangan suku bangsa diatur menurut sendi ketentuan;
4. Ngale se Dulu; bentuk budaya masing-masing suku bangsa dapat digunakan secara bersaama sesuai dengan keinginan;
5. Sere se Diniru; tata kehidupan seni budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergaulan masyarakat yang diterima secara bersama;
6. Cing se Cingare; pasangan wanita dan pria merupakan kesatuan yang utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing perlu dibina dan dijaga kelestariannya.
Keenam sila dasar ini menjadi ikatan yang menyatukan sistem kekerabatan dalam pergaulan masyarakat adat Moloku Kie Raha khususnya Ternate. Kalau terjadi sengketa atau perselisihan dalam masyarakat maka sandaran penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum dasar tersebut. ( Amas Dinsie, ibid: 77-78).
Sistem Norma dan Aturan Yang Berlaku Dalam Masyarakat:
Sistem norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat didasarkan pada: a) Adat se Atorang, b) Cara se-Ngale, c).Galep se Lukudi, d) Cing se Cingare, e) Baso se Hormat f) Baso se Rasai, dan g) Duka se Cinta. Dalam kaitan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat perlu dijelaskan tentang Cing se Cingare, Baso se Hormat, Baso se Rasa dan Duka se Cinta.
Cing se Cingare; Manusia sebagai mahluk sosial antara yang satu dengan yang lain mempunyai ketergantungan sosial. Oleh karena itu jika ingin disenangi orang lain maka sangat tergantung dengan prilaku kita, kita dapat dihormati manakala kita menghormati orang lain, kita dapat dihargai kalau kita menghargai orang lain. Budaya ini mencerminkan semangat gotong royong, penuh persaudaraan dan semangat kebersamaan yang didasari atas sifat tolong menolong. Sifat ini tertuang dalam puisi rakyat (dalil Moro) yang berbunyi:
Ino fo Makati nyinga Mari kita bertimbang kasih
Doka gosora se bua lawa Seperti pala dengan fulinya
Om doro foma momote Jatuh bangun kita bersama
Foma gogoru foma dodora Berkasih mesralah diantara kita.( Amas Dinsie, Ibid, hal 85-86).
Baso se Hormat; penghormatan atau sapaan. Masyarakat Ternate dalam pergaulan hidup sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa sapaan pada seseorang. Ini dimaksudkan agar terjadi keharmonisan dan keakraban, baik dilingkunan keluarga, dalam lingkungan pergaulan antara sesama anggota masyarakat. Sifat ini tertuang dalam syair pantun (Dolo Bololo):
Dara tolefo mampila Burung merpati kuberi tanda
Soro gudu to nonako Terbang jauh aku kenali
Gudu moju si to suba Masih jauh sudah kuberi hormat
Ri jou si to nonako Tuanku maka kukenali. (Amas Dinsie, Ibid, hal 86-88)
Baso se Rasai; mengandungg makna toleransi spiritual yaitu sikap manusia yang manusiawi. Prinsip ini memberikan motivasi batin untuk lebih merasa prihatin kepada orang lain dalam rangka membangun dan membina hubungan baik di kalangan masyarakat. Sifat ini tertuang dalam puisi rakyat:
Ngone doka dai lako Kita bagaikan kembang
Ahu mafara fara Tumbuh hidup berpencar
Si rubu rubu yo mamoi-moi Terhimpun dalam satu genggaman
Doka saya rako moi Bagaikan serangkai kembang (Amas Dinsie, Ibid: hal 88-9)
Duka se Cinta, mengandung arti mengenang atau turut merasakan penderitaan yang dialami seseorang. Ungkapan perasaan ini lahir dari lubuk hati yang dalam dan bukan semata-mata ungkapan belaka. Sifat ini diungkapkan dalam syair pantun:
Fira mo si saya gam Gadis adalah kembang negeri
Adat yo mahisa hira Adatnya, abang pelindungnya
Fira mina mi gogola Sakitnya si gadis itu
Marurano hira i nyinga Kasih si abang saja obatnya.
Dari ungkapan ini telah tergambar secara jelas bahwa masyarakat adat Ternate memandang nilai cinta kasih sesama manusia adalah diatas segala-galanya, yang tak ubahnya seperti jasad manusia, manakala salah satu dari anggota tubuh itu dicubit, maka semua bagian tubuh akan merasakan sakit, ( Amas Dinsie, ibid, 89-90).
Di daerah Jailolo Halmahera Barat ada filosofi Adili, Palihara, dan Diayi. Adili artinya perlakuan yang adil terhadap semua pihak. Palihara artinya memelihara satu dengan yang lain, membagi apa yang dimiliki, tanpa membedakan agama dan suku; Diayi artinya menjaga hubungan yang rukun, tanpa melihat agama mereka.
Rumah adat Sasadu. Sasadu merupakan wujud kongkrit dari budaya adat Sahu yang merupakan lambang kekuatan desa (Kagunga Tege-tege) berfungsi juga sebagai tempat pertemuan masyarakat desa pada waktu pesta adat dan pertemuan-pertemuan lainnya. Dalam pesta adat orang Sahu tergambar jelas kerukunan antar umat beragama. Dikatakan demikian karena dalam rumah adat ada sebuah meja khusus untuk orang luar/undangan dari segala macam suku dan agama. Keteraturan tempat duduk yang selalu dijaga, dimana setiap orang ada tempat duduknya sesuai dengan marga asalnya,umurnya dan fungsinya dalam masyarakat desa.
Dalam kehidupan bermasyarakat Sahu terdapat warisan tata krama sosial masyarakat berupa, Sere ie re gogasa : artinya cara membawa diri terhadap orang lain. Ede re bahasa : artinya berbahasa yang enak didengar. Ruku re cingari artinya berperangai yang santun.
Dalam prilaku sosial ada yang disebut dengan “bopapo” artinya tempat sandaran. Hal ini terjadi karena seseorang yang dalam pergaulan sehari-hari dipandang baik untuk dijadikan penopang hidup, maka orang tersebut dapat diajdikan bopapo.
Saudara "rasai" (saudara mengaku). Hal ini bisa terjadi karena orang tersebut dipandang baik dalam hidup sehari-hari maka kepadanya diperlakukan sebagai saudara kandung sendiri. (Lihat Makalah Charolis Djaawa: hal 2-3).
Adat ma toto agama. Artinya nilai-nilai adat yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki substansi ajaran agama yang sangat kuat, sehingga nilai-nilai adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.(Makalah Bupati Halmahera Barat).
a. Potensi Konflik
Dari hasil dialog baik ditingkat provinsi maupun kabupaten dapat di identifikasi beberapa hal yang dapat menjadi potensi konflik yang muncul dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara, antara lain:
A. Masih ada luka-luka lama (trauma) dan sisa-sisa bangunan yang rusak akibat konflik yang pernah terjadi pada tahun 2000.
B. Fanatisme suku (sukuisme) yang sangat fanatik dan bersifat eksklusif, sangat membahayakan hubungan antar masyarakat, apalagi diantara suku-suku tersebut memeluk agama yang berbeda dengan suku-suku lainnya.
C. Kecemburuan Sosial akibat adanya penguasaan birokrasi oleh suku tertentu. Dalam kenyataan pejabat birokrasi di kantor pemerintahan didominasi oleh suku tertentu.
D. Kecemburuan juga muncul dibidang ekonomi, karena umumnya kegiatan di bidang ekonomi di dominasi oleh para pendatang.
E. Perkelahian anak-anak muda akibat mabuk-mabukan juga berpotensi memunculkan konflik, apalagi bila mereka yang berkelahi itu berbeda agama.
F. Fanatisme keagamaan yang sempit seperti mencap seseorang dengan istilah kafir, sesat bisa memunculkan konflik.
G. Kecurigaan antar kelompok, akibat tidak adanya trust (rasa saling percaya) bisa memunculkan konflik ( muncul istilah kristenisasi atau Islamisasi).
H. Pendirian tempat ibadah ditengah-tengah kelompok mayoritas sering menimbulkan protes dari masyarakat
I. Persaingan dalam memperebutkan jabatan di pemerintahan (Gubernur, Bupati, Walikota), apabila memanfaatkan komunitas agama dan suku dapat memunculkan konflik. Parahnya konflik tersebut terus berlangsung setelah selesainya pemilihan, dimana hal tersebut berimbas pula kepada para pendukungnya, dan dalam kegiatan keagamaan.
J. Beredarnya kaset yang berisikan hujatan terhadap agama tertentu bisa menimbulkan konflik antar agama.
K. Bantuan keagamaan yang tidak merata kepada semua agama dapat menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara umat beragama tertentu dengan pemerintah.
L. Pengangkatan pegawai negeri terutama guru agama yang tidak memperhatikan keterwakilan agama dan suku dapat memicu munculnya konflik.
M. Kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, rentan terhadap munculnya konflik.
N. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, memungkinkan mudahnya dapat diprovokasi untuk berbuat anarkis.
O. Belum terwakilinya semua agama dalam kepengurusan FKUB, baik jumlah, komposisi dan keanggotaan, ditingkat provinsi maupun kabupaten.
b. Rekomendasi
A. Perlu ada upaya bersama untuk mempercepat pemulihan (recovery) rasa/pengalaman traumatis akibat konflik pada tahun 2000.
B. Pemuka- pemuka agama harus memberikan contoh bagaimana menerapkan kehidupan yang harmonis diantara mereka yang berbeda agama, mengingat masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistis.
C. Diharapkan agar para pemuka agama sering melakukan dialog dan mengkampanyekan hidup yang rukun ditengah-tengah masyarakat, dengan menyampaikan ajaran-ajaran agama yang bersifat kemanusiaan, persaudaraan, kesetaraan dan aksi sosial.
D. Kegiatan keagamaan tertentu diadakan diluar tempat ibadat dengan melibatkan masyarakat sekitar. Sebagai misal dalam memperingati hari ulang tahun tempat ibadat agama tertentu, diadakan pertandingan olahraga dengan melibatkan masyarakat setempat yang berbeda agama, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat membaurkan masyarakat.
E. Sering mengadakan silaturrahim diantara pemuka agama yang ada di Malauku Utara. Para pemuka agama mengadakan kunjungan ke desa-desa secara bersama-sama, disertai dengan program aksi
F. Agar kerukunan dapat terpelihara dengan baik diharapkan agar pemerintah derah memberikan perhatian dan bantuan yang sama kepada semua penganut agama sehingga tidak ada yang merasa dianak tirikan.
G. Bantuan keagamaan lebih diutamakan berupa dana beasiswa untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat setempat.
H. Agar FKUB dapat menjalankan tugas dan fungsinyanya dengan baik, perlu disediakan dana yang memadai melalui APBD maupun APBN.
I. Dalam mengangkat pejabat pemerintahan dan pegawai negeri perlu memperhatikan keterwakilan suku dan agama, dengan tetap memperhatikan profesionalitas dan prosedur yang berlaku, sehingga tidak ada kesan hanya didominasi oleh suku dan agama tertentu.
J. Dalam upacara-upacara keagamaan yang diadakan oleh pemerintah sebaiknya mengundang semua pemuka agama.
K. Diharapkan pemerintah mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan semua suku dan agama, seperti dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI, HUT Provinsi, dan HUT Kabupaten dan Kota.
L. Supaya diadakan dialog antar pemuda yang berbeda agama untuk membangun rasa saling percaya (trust).
M. Ada program bacarita/ngobrol-ngobrol dengan masyarakat desa/ akar rumput (grassroote) tentang kerukunan umat beragama.
N. Mengadakan sosialisasi PBM dan pemelihraan kerukunan hidup beragama ke titik-titik daerah yang dianggap rawan.
O. Membangun visi dan missi bersama dalam membangun daerah.
P. Kantor Wilayah Departemen Agama perlu menindak lanjuti model dialog pengembangan wawasan multikultural ketingkat kabupaten, kecamatan dan desa, dengan mengikutsertakan semua potensi yang ada.
Q. Pemerintah daerah diharapkan mengeluarkan Perda tentang pelestarian nilai-nilai budaya lokal, dan merevitalisasinya dengan menyesuaikan dengan kondisi sekarang yang sedang berkembang.
R. Perlu diangkat perangkat bimas dan penyelenggara di tingkat provinsi dan kabupaten, bagi agama yang belum mempunyai aparat pelaksananya, dengan tetap memperhatiknan ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Ternate, 30 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar