Minggu, 28 Juni 2009

RUMUSAN HASIL DIALOG
PENGEMBANGAN WAWASAN MULTIKULTURAL
ANTARA PEMUKA AGAMA PUSAT DAN PEMUKA AGAMA DAERAH
DI PROVINSI MALUKU UTARA
Tanggal 27 - 30 Mei 2009


I. Pendahuluan
Pengembangan wawasan multikultural antara pemuka agama pusat dengan pemuka agama daerah melalui dialog merupakan salah satu kegiatan penting bagi terciptanya kehidupan yang lebih rukun antar umat beragama di masa sekarang maupun yang akan datang. Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 pada Bab 31 huruf C nomor 2 disebutkan tentang arah kebijakan peningkatan kualitas kehidupan beragama yaitu melalui Peningkatan Kerukunan Intern dan Antar Umat Beragama. Hal ini mengindikasikan bahwa kerukunan umat beragama merupakan aspek penting yang perlu diupayakan.
Seperti diketahui masyarakat Indonesia yang majemuk memang rentan terhadap kemungkinan timbulnya kesalahpahaman yang menjurus kearah terjadinya konflik. Melalui kegiatan ini selain diupayakan dapat terjalin hubungan yang lebih harmonis antara para pemimpin agama dari agama yang berbeda, juga dilakukan pengembangan temu wawasan sehingga diharapkan dapat memperluas wawasan multikultural serta meningkatkan keterbukaan, saling pengertian serta saling menghargai di antara pemimpin agama pusat dan daerah, membangun visi dan misi bersama tentang pemeliharaan kerukunan umat beragama ke depan, serta menginventarisir kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan umat beragama. Dengan kegiatan ini pula, berbagai sekat perbedaan baik vertikal maupun horizontal yang ada dalam masyarakat, diharapkan dapat terjembatani.
Pentingnya acara dialog ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, yang melakukan dialog adalah para pemuka agama, yaitu pemuka-pemuka agama dari majelis-majelis agama dari pusat (Jakarta) dan pemuka-pemuka agama dari daerah khususnya dari Halmahera Barat. Kedua, dialog ini berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan wawasan multikultural, dalam rangka mencari cara efektif mengelola kemajemukan dan keragaman masyarakat Indonesia. Ketiga, dialog kali ini dilakukan di sebuah wilayah yang memiliki karakter khusus yaitu wilayah kepulauan. Dalam wilayah kepulauan seperti di Provinsi Maluku Utara ini tantangan kerukunan umat beragama menjadi semakin dinamis, karena sarana transportasi dan komunikasi yang masih terus harus dibangun.
Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural telah dilaksanakan sejak tahun 2002. sampai dengan tahun 2008 telah dilaksanakan di 22 (dua puluh dua) provinsi. Dialog di Provinsi Maluku Utara yang merupakan provinsi ke 23 (dua puluh tiga) berlangsung tanggal 27 – 30 Mei 2009. dialog ini memiliki makna penting bagi pemeliharaan kerukunan umat beragama di wilayah tersebut yang selama ini terlihat telah kondusif.

II. Tujuan
Kegiatan Pengembangan Wawasan Multikultural Antar Pemuka Agama Pusat dan Daerah ini bertujuan:
A. Memperlancar komunikasi antar pemuka agama, baik pemuka agama pusat maupun antar sesama pemuka agama daerah.
B. Menumbuhkan wawasan multikultural serta sikap saling menghargai dan mempercayai di antara pemimpin/pemuka agama pusat dan daerah.
C. Mengembangkan visi dan misi bersama para pemimpin/pemuka agama pusat dan daerah tentang pembinaan kerukunan hidup beragama yang lebih dinamis di masa depan, khususnya peningkatan kerjasama nyata dalam menanggulangi masalah-masalah hubungan antar umat beragama dan kerawanan sosial.
D. Menginventarisir kearifan-kearifan lokal yang dapat mendukung kerukunan umat beragama dan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong atau mungkin kurang mendorong kerukunan umat beragama.

III. Bentuk Kegiatan dan Proses Dialog
A. Penelitian tentang Potensi Konflik dan Integrasi dalam Kerangka Pengembangan dan Peningkatan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah. Sebelum peserta Dialog berangkat ke Maluku Utara, 2 (dua) orang peneliti melakukan penelitian lapangan yang hasilnya dijadikan bahan masukan bagi para peserta Dialog untuk memperoleh gambaran tentang kehidupan keagamaan di Provinsi Maluku Utara;
B. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Provinsi Maluku Utara dalam bentuk audiensi dengan Wakil Gubernur Maluku Utara di Aula Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 Mei 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Dialog diawali pidato pembukaan oleh Wakil Gubernur Maluku Utara.
C. Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Kabupaten Halmahera Barat dilaksanakan di Aula Kantor Bupati Kabupaten Halmahera Barat pada tanggal 28 Mei 2009. Dengan jumlah peserta sebanyak 100 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Dialog diawali pidato pembukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Barat.
D. Kunjungan silaturrahim ke rumah-rumah ibadat (Pura Siwa Jagat Karana di Kota Ternate; Gereja Efrata di Kabupaten Halmahera Barat; Gereja Katolik St Fransiskus Xaverius di Kabupaten Halmahera Barat; Masjid Muhajirin di Kabupaten Halmahera Barat; dan Klenteng Thian Ho Kiang di Kota Ternate), sekaligus menyampaikan cendera mata (bantuan) untuk rumah ibadat yang dikunjungi masing-masing sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Untuk umat Budha, karena belum memiliki rumah ibadat, kunjungan dilakukan di Pura Siwa Jagat Karana sekaligus silaturrahim dengan umat Hindu.
E. Dialog diakhiri dengan ramah tamah dan perpisahan dengan Kepala Kanwil Departemen Agama dan unsur Pejabat Kanwil Departemen Agama serta Ketua FKUB Kota Ternate pada malam Sabtu, tanggal 29 Mei 2009 yang dilakukan di rumah makan ”Floridas“.

IV. Peserta
Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural antara Pemuka Agama Pusat dan Daerah yang dilaksanakan di Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 – 30 Mei 2009 dilakukan di dua tempat yaitu tingkat Provinsi Maluku Utara dan tingkat Kabupaten Halmahera Barat. Pada tingkat Provinsi dilaksanakan dalam bentuk audiensi dengan pihak Wakil Gubernur Maluku Utara di Aula Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara pada tanggal 27 Mei 2009 dengan jumlah peserta sebanyak 35 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Pada tingkat Kabupaten dilaksanakan di Aula Kantor Bupati Kabupaten Halmahera Barat pada tanggal 28 Mei 2009, dengan jumlah peserta sebanyak 100 orang dari daerah, dan 30 orang dari pusat. Rincian peserta adalah sebagai berikut:
A. Peserta Audiensi Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Pemuka Agama Daerah dengan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara, terdiri dari unsur-unsur:
1. Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah ( Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
2. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pusat dan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH);
3. Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), dan Paroki St Willy Boordus, Ternate;
4. Pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dan Daerah (Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
5. Pimpinan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) Pusat dan Majelis Pandita Budha Mayteriya (MAPANBUMI) Provinsi Maluku Utara;
6. Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) dan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) Provinsi Maluku Utara;
7. Anggota Komisi VIII DPR RI;
8. Staf Ahli Menag Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan Departemen Agama;
9. Staf Ahli Menteri Koordinator Kesra;
10. Kasubdit pada Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri;
11. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Pusat dan wilayah, dan cabang (Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate);
12. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wilayah dan Daerah;
13. Dewan Penasehat dan Sekretaris FKUB Provinsi Maluku Utara, tokoh agama dan masyarakat Provinsi Maluku Utara;
14. Ketua FKUB Kota Ternate, tokoh agama dan masyarakat Kota Ternate;
15. Pejabat Kantor Gubernur Provinsi Maluku Utara;
16. Pejabat Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara;
17. Pejabat Eselon I, II, dan III Departemen Agama Pusat;
18. Peneliti Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
B. Peserta Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Antara Pemuka Agama Pusat dan Pemuka Agama di Kabupaten Halmahera Barat yang terdiri dari unsur-unsur:
1. Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan MUI Kabupaten Halmahera Barat;
2. Pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pusat dan Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH);
3. Pimpinan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), dan Paroki Santo Fransiskus Xaverius, Tedeng Halmahera Barat;
4. Pimpinan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat;
5. Pimpinan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) Pusat;
6. Pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN);
7. Anggota Komisi VIII DPR RI;
8. Staf Ahli Menag Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan Departemen Agama;
9. Staf Ahli Menteri Koordinator Kesra;
10. Kasubdit pada Ditjen Kesbangpol Departemen Dalam Negeri;
11. Pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Pusat dan cabang Halmahera Barat;
12. Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Daerah;
13. Pengurus dan Dewan Penasehat FKUB Kabupaten Halmehera Barat, Tokoh agama dan masyarakat Kabupaten Halmahera Barat;
14. Sekretaris Daerah Kabupaten Halmahera Barat dan pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Barat;
15. Pejabat Kantor Departemen Agama Kabupaten Halmahera Barat;
16. Pejabat Eselon I, II, dan III Departemen Agama Pusat;
17. Peneliti Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.


V. Pengarahan –Pengarahan
A. Menteri Agama RI
Menteri agama dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pemikiran dan Paham Keagamaan antara lain menyampaikan:
Kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia saat ini diwarnai oleh adanya perbedaan-perbedaan dalam pemelukan agama. Kita sudah terbiasa menerimanya dengan hidup berdampingan secara damai dalam balutan semangat kesatuan bangsa. Namun penerimaan perbedaan saja tanpa pemahaman yang mendalam akan arti dan hakikat yang sesungguhnya dari perbedaan tersebut ternyata masih sangat rentan terhadap godaan kepentingan primordialisme dan egosentrisme individu maupun kelompok, terutama bila hal itu terkait dengan aspek politik (kekuasaan) maupun ekonomi (sumber daya). Ketika godaan itu muncul, tidak jarang kedamaian menjadi terganggu.
Gangguan kedamaian itu akan mudah meluas manakala sentimen dan simbol-simbol keagamaan dipakai sebagai sumbu atau pemicu. Ini bisa kita mengerti karena sentimen keagamaan berakar jauh menghunjam ke dalam jiwa dan sanubari setiap insan. Para pakar ilmu sosial berpendapat bahwa memang inilah yang sesungguhnya terjadi dan kita kenal sebagai konflik sosial yang bernuansa agama yang pernah ada dan terjadi di sekitar kita selama ini. Seringkali konflik sosial yang bernuansa agama itu pada awalnya hanya merupakan konflik ekonomi atau politik, kemudian dibalut dengan agama.
Untuk itu, dialog pengembangan wawasan multikultural oleh para pemuka agama menjadi sangat penting artinya. Tujuannya sudah barang tentu adalah untuk mencari model baru dalam merajut kembali dan memperkuat kerukunan umat beragama dan berbangsa yang dulu pernah mantap namun juga pernah terusik. Mudah-mudahan dialog ini mampu membantu memelihara dan meningkatkan kerukunan yang mantap, dinamis dan lestari.
B. Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara

C. Bupati Kabupaten Halmahera Barat

D. Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara (waktu penutupan/ramah tamah di rumah makan Floridas)


VI. Potensi Kerukunan.
Berdasarkan hasil penelitian, paparan dari para pemakalah dan tanggapan dari peserta maka diperoleh beberapa hal yang dipandang positif bagi upaya menciptakan suasana dan kondisi kerukunan yaitu:
A. Peranan Kesultanan
Di Maluku Utara dulu terdapat 4 kerajaan yaitu, Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore, Kerajaan Jailolo dan Kerajaan Bacan. Keempat kerajaan ini kemudian bersatu dengan bentuk konfederasi, yang kemudian dikenal dengan sebutan ”Moloku Kie Raha. Kesatuan Moloku Kie Raha dilandasi oleh falsafah : ”Jou Se Ngofa Ngare”. Yang secara letterlijk berarti : ” Engkau” (penguasa) dan ”Aku” (rakyat); apa yang ada pada engkau, ada pada aku dan sebaliknya apa yang ada pada aku, ada juga pada engkau. Inilah falsafah hukum adat di Makuku Utara, yang merupakan sebuah kesatuan kultural yang majemuk yang terbentuk sejak konfederasi Moti (Moti Staten Verbond) pada tahun 1322. (Mudaffarsyah, Memahami Maluk Utara, dalam Amas Diensi, Ternate, Sejarah, Kebudayaan dan Pembangunan Perdamaian Maluku Utara, hal X111-XV111).Dibawah payung Maloku Kie Raha dengan konsep Jou Se Ngofa Ngare semua suku dan agama dilindungi dan diayomi sehingga sejak dulu sebenarnya Maluku Utara telah menghargai pluralisme budaya dan agama yang sampai sekarang masih berlaku terutama dalam masyarakat adat.
Empat kerajaan yang ada di Maluku Utara semuanya kerajaan Islam, tetapi para rajanya sangat toleran sehingga mereka tidak mau memaksa orang Kristen, harus masuk Islam. Oleh sebab itu Islam berkembang hanya di daerah pesisir, sedangkan di pedalaman banyak penganut agama Kristen.
Hal itu tampak pula di Kabupaten Halmahera Barat yang merupakan bekas kerajaan Jailolo, dimana umat Kristiani lebih banyak dari umat Islam tetapi mendapat perlindungan dari Sultan Jailolo yang notabene merupakan kerajaan Islam.
B. Faktor Geografis
Situasi dan kondisi Maluku Utara yang terdiri dari kepulauan dan bergunung-gunung memungkinkan masyarakatnya untuk hidup saling membutuhkan dan saling membantu. Umat Kristen yang ada dipedalaman, dan umat Islam yang sebagian besar berada di pesisir sudah barang tentu kedua komunitas ini saling membutuhkan.(MUI Halmahera Barat).
C. Faktor Pemerintah
Pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur Maluku Utara dan Bupati Halmahera Barat memberikan bantuan dana dan pengayoman pada semua agama. Pasca kerusuhan semua tempat ibadah diberi bantuan untuk dibangun kembali. Begitu pula rumah-rumah penduduk yang berasal dari berbagai agama, yang rusak akibat kerusuhan diberi bantuan walaupun hanya sebagai stimulus.
Bupati Halmahera Barat, juga memberikan perhatian pada semua agama. Setiap tahun pemerintah daerah memberikan bantuan pada setiap rumah ibadah, dan setiap tahun melalui anggaran APBD diberangkatkan para imam, pimpinan majelis ta’lim, guru ngaji sebanyak 20 orang untuk menunaikan ibadah haji, dan bantuan bea siswa S.2 untuk melanjutkan studi di bidang teologi bagi umat kristen.
D. Perayaan Bersama Hari-Hari Besar Keagamaan
Pada perayaan dan peringatan hari-hari besar keagamaan pemerintah daerah selalu mengadakannya dengan melibatkan semua umat beragama. Kepanitiaannya dibentuk secara silang, kalau kegiatan kegamaan Islam panitianya dari umat Krsitiani, sedangkan kalau kegiatan keagamaan Kristen panitianya dari umat Islam. Pada kegiatan semacam itu dihadiri oleh pemeluk dan pemuka agama lainnya.
E. Budaya Silaturrahim
Pada hari-hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Natal (Tahun Baru), para pemuka agama dan umat saling mengunjungi. Mereka merasa bersalah kalau pada hari raya keagamaan tidak saling kunjung mengunjungi.
F. Pembangunan Tempat Ibadah
Dalam pembangunan tempat ibadah di beberapa daerah terdapat budaya saling membantu, karena dalam beberapa keluarga terdapat mereka yang bebeda agama.
G. Hubungan Sosial dan Kekerabatan
Terjalinnya hubungan yang harmonis diantara mereka yang berbeda agama disebabkan adanya ikatan persaudaraan diantara mereka yang berbeda agama. Ikatan kekerabatan itu terjalin karena faktor keturunan maupun berdasarkan perkawinan.
Hubungan kekerabatan itu tampak ketika terjadi upacara perkawinan dan kematian. Begitu juga dalam kegiatan sosial seperti gotong royong dan kerjabakti masyarakat yang berbeda agama dapat bekerja bersama-sama. Dalam budaya Moloku Kie Raha terdapat istilah Maku Gawene (gotong royong) dan Giop (kerjasama menangkap ikan). Budaya seperti ini masih berlaku dibeberapa daerah terutama didaerah pedesaan. Dalam hubungan sosial kegamaan, dalam upacara-upacara tertentu mereka saling menghadiri dan menyumbang kesenian (paduan suara dan qasidahan).
H. Bahasa Melayu Ternate Sebagai Bahasa Persatuan.
Bahasa Melayu Ternate merupakan bahasa yang oleh F.S.A de Cierq (Leiden: 1890) disebut sebagai lingua franca, bahasa persatuan yang menjembatani dari berbagai macam bahasa yang terdapat di Maluku Utara. Oleh faktor-faktor sosiologis dan antropologis, bahasa Ternate menjadi bahasa pergaulan dalam kehidupan bermasyarakat.Dengan demikian bahasa Melayu Ternate dapat disejajarkan fungsinya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan untuk daerah Maluku Utara.
I. Ikrar Bersama
Setelah terjadi kerusuhan timbul kesadaran bersama diantara pemuka agama bahwa konflik mengakibatkan kerugian bagi semua pihak. Berdasarkan kesadaran itu maka para pemuka agama membuat ikrar bersama, bahwa siapapun yang mencoba menciptakan kerusuhan ditengah masyarakat, dianggap sebagai musuh bersama.


J. Peran FKUB
FKUB mempunyai peranan yang besar dalam menciptakan kerukunan umat beragama di Maluku Utara. Melalui FKUB para pemuka agama dapat bertemu secara berkala untuk membicarakan berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat. Dengan saling bertemu, berdialog dapat meningkatkan saling pengertian diantara para pemuka agama.
K. Kearifan Lokal
Di daerah Maluku Utara sebagai daerah bekas kerajaan meninggalkan nilai-nilai filosofis, budaya, dan beberapa ajaran dasar yang melandasi tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.
Soa (kampung) menurut disertasi Christian Frans Van Frassen (Ternate, de Malukken en de Indonesische Archipel, Leiden, 1987) sebagai sebuah tatanan sosial yang demokratis, karena sangat egaliter dan akomodatif terhadap berbagai aliran dan keyakinan keagamaan di Maluku Utara. Keseluruhan tatanan ini bertumpu pada falsafah “Jou Se Ngofa Ngare” sebagai dasarnya, yang merupakan Common Platform yang akomodatif terhadap kemajemukan yang ada ( Mudaffarsyah: hal XV-XVI).
Legu Gam, merupakan pesta rakyat untuk memperingati hari ulang tahun Sultan. Pada event ini ditampilkan pentas seni budaya berupa tarian-tarian tradisional, pembacaan puisi, pameran kerajinan lokal, hingga kegiatan seminar nasional yang menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, politisi dan budayawan tingkat nasional. Dalam kegiatan ini melibatkan semua unsur masyarakat tanpa melihat suku dan agama yang disandang seseorang. (Amas Dinsie; ibid, 2008, hal 47).
Adat Se Atorang (Adat dan Aturan) dapat dikatakan sebagai prinsip kebersamaan, persatuan dan persaudaraan dalam bingkai ”Morimoi Ngone Futuru (bersatu kita teguh). Adat Se Atorang ini masih fungsional dalam perilaku dan tindak tanduk kehidupan bermasyarakat. (Amas Dinsie: Ibid, hal 62).
Falsafah ”Jou Se Ngofa Ngare” yang disimbolkan dalam ”Goheba depolo romdidi”, (dua kepala burung garuda), dan satu hati, mengandung arti bahwa masyarakat Ternate sangat menghargai keanekaragaman kultural. Simbol itu juga melambangkan bahwa penguasa dan rakyat memiliki kesamaan derajat dan kesamaan tujuan demi tercapainya kesejahteraan bersama. (Amas Dinsie, ibid:hal 64).
Kie Se Gam magogugu ma titi rara (enam sila dasar yang menjadi pegangan bagi Sultan,pembantunya dan masyarakat):
1. Adat se Atorang, merupakan hukum dasar yang dipatuhi dan disusun menurut kebiasaan yang dapat diterima masyarakat;
2. Istiadat se Kabasang; Lembaga adat dan kekuasaannya menurut ketentuan;
3. Galib se Lakudi; kebiasaan lama yang menjadi pegangan suku bangsa diatur menurut sendi ketentuan;
4. Ngale se Dulu; bentuk budaya masing-masing suku bangsa dapat digunakan secara bersaama sesuai dengan keinginan;
5. Sere se Diniru; tata kehidupan seni budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergaulan masyarakat yang diterima secara bersama;
6. Cing se Cingare; pasangan wanita dan pria merupakan kesatuan yang utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing perlu dibina dan dijaga kelestariannya.
Keenam sila dasar ini menjadi ikatan yang menyatukan sistem kekerabatan dalam pergaulan masyarakat adat Moloku Kie Raha khususnya Ternate. Kalau terjadi sengketa atau perselisihan dalam masyarakat maka sandaran penyelesaiannya dikembalikan kepada hukum dasar tersebut. ( Amas Dinsie, ibid: 77-78).
Sistem Norma dan Aturan Yang Berlaku Dalam Masyarakat:
Sistem norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat didasarkan pada: a) Adat se Atorang, b) Cara se-Ngale, c).Galep se Lukudi, d) Cing se Cingare, e) Baso se Hormat f) Baso se Rasai, dan g) Duka se Cinta. Dalam kaitan menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat perlu dijelaskan tentang Cing se Cingare, Baso se Hormat, Baso se Rasa dan Duka se Cinta.
Cing se Cingare; Manusia sebagai mahluk sosial antara yang satu dengan yang lain mempunyai ketergantungan sosial. Oleh karena itu jika ingin disenangi orang lain maka sangat tergantung dengan prilaku kita, kita dapat dihormati manakala kita menghormati orang lain, kita dapat dihargai kalau kita menghargai orang lain. Budaya ini mencerminkan semangat gotong royong, penuh persaudaraan dan semangat kebersamaan yang didasari atas sifat tolong menolong. Sifat ini tertuang dalam puisi rakyat (dalil Moro) yang berbunyi:
Ino fo Makati nyinga Mari kita bertimbang kasih
Doka gosora se bua lawa Seperti pala dengan fulinya
Om doro foma momote Jatuh bangun kita bersama
Foma gogoru foma dodora Berkasih mesralah diantara kita.( Amas Dinsie, Ibid, hal 85-86).
Baso se Hormat; penghormatan atau sapaan. Masyarakat Ternate dalam pergaulan hidup sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa sapaan pada seseorang. Ini dimaksudkan agar terjadi keharmonisan dan keakraban, baik dilingkunan keluarga, dalam lingkungan pergaulan antara sesama anggota masyarakat. Sifat ini tertuang dalam syair pantun (Dolo Bololo):
Dara tolefo mampila Burung merpati kuberi tanda
Soro gudu to nonako Terbang jauh aku kenali
Gudu moju si to suba Masih jauh sudah kuberi hormat
Ri jou si to nonako Tuanku maka kukenali. (Amas Dinsie, Ibid, hal 86-88)
Baso se Rasai; mengandungg makna toleransi spiritual yaitu sikap manusia yang manusiawi. Prinsip ini memberikan motivasi batin untuk lebih merasa prihatin kepada orang lain dalam rangka membangun dan membina hubungan baik di kalangan masyarakat. Sifat ini tertuang dalam puisi rakyat:
Ngone doka dai lako Kita bagaikan kembang
Ahu mafara fara Tumbuh hidup berpencar
Si rubu rubu yo mamoi-moi Terhimpun dalam satu genggaman
Doka saya rako moi Bagaikan serangkai kembang (Amas Dinsie, Ibid: hal 88-9)
Duka se Cinta, mengandung arti mengenang atau turut merasakan penderitaan yang dialami seseorang. Ungkapan perasaan ini lahir dari lubuk hati yang dalam dan bukan semata-mata ungkapan belaka. Sifat ini diungkapkan dalam syair pantun:
Fira mo si saya gam Gadis adalah kembang negeri
Adat yo mahisa hira Adatnya, abang pelindungnya
Fira mina mi gogola Sakitnya si gadis itu
Marurano hira i nyinga Kasih si abang saja obatnya.
Dari ungkapan ini telah tergambar secara jelas bahwa masyarakat adat Ternate memandang nilai cinta kasih sesama manusia adalah diatas segala-galanya, yang tak ubahnya seperti jasad manusia, manakala salah satu dari anggota tubuh itu dicubit, maka semua bagian tubuh akan merasakan sakit, ( Amas Dinsie, ibid, 89-90).
Di daerah Jailolo Halmahera Barat ada filosofi Adili, Palihara, dan Diayi. Adili artinya perlakuan yang adil terhadap semua pihak. Palihara artinya memelihara satu dengan yang lain, membagi apa yang dimiliki, tanpa membedakan agama dan suku; Diayi artinya menjaga hubungan yang rukun, tanpa melihat agama mereka.
Rumah adat Sasadu. Sasadu merupakan wujud kongkrit dari budaya adat Sahu yang merupakan lambang kekuatan desa (Kagunga Tege-tege) berfungsi juga sebagai tempat pertemuan masyarakat desa pada waktu pesta adat dan pertemuan-pertemuan lainnya. Dalam pesta adat orang Sahu tergambar jelas kerukunan antar umat beragama. Dikatakan demikian karena dalam rumah adat ada sebuah meja khusus untuk orang luar/undangan dari segala macam suku dan agama. Keteraturan tempat duduk yang selalu dijaga, dimana setiap orang ada tempat duduknya sesuai dengan marga asalnya,umurnya dan fungsinya dalam masyarakat desa.
Dalam kehidupan bermasyarakat Sahu terdapat warisan tata krama sosial masyarakat berupa, Sere ie re gogasa : artinya cara membawa diri terhadap orang lain. Ede re bahasa : artinya berbahasa yang enak didengar. Ruku re cingari artinya berperangai yang santun.
Dalam prilaku sosial ada yang disebut dengan “bopapo” artinya tempat sandaran. Hal ini terjadi karena seseorang yang dalam pergaulan sehari-hari dipandang baik untuk dijadikan penopang hidup, maka orang tersebut dapat diajdikan bopapo.
Saudara "rasai" (saudara mengaku). Hal ini bisa terjadi karena orang tersebut dipandang baik dalam hidup sehari-hari maka kepadanya diperlakukan sebagai saudara kandung sendiri. (Lihat Makalah Charolis Djaawa: hal 2-3).
Adat ma toto agama. Artinya nilai-nilai adat yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, memiliki substansi ajaran agama yang sangat kuat, sehingga nilai-nilai adat tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.(Makalah Bupati Halmahera Barat).

a. Potensi Konflik
Dari hasil dialog baik ditingkat provinsi maupun kabupaten dapat di identifikasi beberapa hal yang dapat menjadi potensi konflik yang muncul dalam kehidupan masyarakat di Maluku Utara, antara lain:
A. Masih ada luka-luka lama (trauma) dan sisa-sisa bangunan yang rusak akibat konflik yang pernah terjadi pada tahun 2000.
B. Fanatisme suku (sukuisme) yang sangat fanatik dan bersifat eksklusif, sangat membahayakan hubungan antar masyarakat, apalagi diantara suku-suku tersebut memeluk agama yang berbeda dengan suku-suku lainnya.
C. Kecemburuan Sosial akibat adanya penguasaan birokrasi oleh suku tertentu. Dalam kenyataan pejabat birokrasi di kantor pemerintahan didominasi oleh suku tertentu.
D. Kecemburuan juga muncul dibidang ekonomi, karena umumnya kegiatan di bidang ekonomi di dominasi oleh para pendatang.
E. Perkelahian anak-anak muda akibat mabuk-mabukan juga berpotensi memunculkan konflik, apalagi bila mereka yang berkelahi itu berbeda agama.
F. Fanatisme keagamaan yang sempit seperti mencap seseorang dengan istilah kafir, sesat bisa memunculkan konflik.
G. Kecurigaan antar kelompok, akibat tidak adanya trust (rasa saling percaya) bisa memunculkan konflik ( muncul istilah kristenisasi atau Islamisasi).
H. Pendirian tempat ibadah ditengah-tengah kelompok mayoritas sering menimbulkan protes dari masyarakat
I. Persaingan dalam memperebutkan jabatan di pemerintahan (Gubernur, Bupati, Walikota), apabila memanfaatkan komunitas agama dan suku dapat memunculkan konflik. Parahnya konflik tersebut terus berlangsung setelah selesainya pemilihan, dimana hal tersebut berimbas pula kepada para pendukungnya, dan dalam kegiatan keagamaan.
J. Beredarnya kaset yang berisikan hujatan terhadap agama tertentu bisa menimbulkan konflik antar agama.
K. Bantuan keagamaan yang tidak merata kepada semua agama dapat menimbulkan hubungan yang tidak harmonis antara umat beragama tertentu dengan pemerintah.
L. Pengangkatan pegawai negeri terutama guru agama yang tidak memperhatikan keterwakilan agama dan suku dapat memicu munculnya konflik.
M. Kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, rentan terhadap munculnya konflik.
N. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, memungkinkan mudahnya dapat diprovokasi untuk berbuat anarkis.
O. Belum terwakilinya semua agama dalam kepengurusan FKUB, baik jumlah, komposisi dan keanggotaan, ditingkat provinsi maupun kabupaten.

b. Rekomendasi
A. Perlu ada upaya bersama untuk mempercepat pemulihan (recovery) rasa/pengalaman traumatis akibat konflik pada tahun 2000.
B. Pemuka- pemuka agama harus memberikan contoh bagaimana menerapkan kehidupan yang harmonis diantara mereka yang berbeda agama, mengingat masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistis.
C. Diharapkan agar para pemuka agama sering melakukan dialog dan mengkampanyekan hidup yang rukun ditengah-tengah masyarakat, dengan menyampaikan ajaran-ajaran agama yang bersifat kemanusiaan, persaudaraan, kesetaraan dan aksi sosial.
D. Kegiatan keagamaan tertentu diadakan diluar tempat ibadat dengan melibatkan masyarakat sekitar. Sebagai misal dalam memperingati hari ulang tahun tempat ibadat agama tertentu, diadakan pertandingan olahraga dengan melibatkan masyarakat setempat yang berbeda agama, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat membaurkan masyarakat.
E. Sering mengadakan silaturrahim diantara pemuka agama yang ada di Malauku Utara. Para pemuka agama mengadakan kunjungan ke desa-desa secara bersama-sama, disertai dengan program aksi
F. Agar kerukunan dapat terpelihara dengan baik diharapkan agar pemerintah derah memberikan perhatian dan bantuan yang sama kepada semua penganut agama sehingga tidak ada yang merasa dianak tirikan.
G. Bantuan keagamaan lebih diutamakan berupa dana beasiswa untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat setempat.
H. Agar FKUB dapat menjalankan tugas dan fungsinyanya dengan baik, perlu disediakan dana yang memadai melalui APBD maupun APBN.
I. Dalam mengangkat pejabat pemerintahan dan pegawai negeri perlu memperhatikan keterwakilan suku dan agama, dengan tetap memperhatikan profesionalitas dan prosedur yang berlaku, sehingga tidak ada kesan hanya didominasi oleh suku dan agama tertentu.
J. Dalam upacara-upacara keagamaan yang diadakan oleh pemerintah sebaiknya mengundang semua pemuka agama.
K. Diharapkan pemerintah mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan semua suku dan agama, seperti dalam peringatan HUT Kemerdekaan RI, HUT Provinsi, dan HUT Kabupaten dan Kota.
L. Supaya diadakan dialog antar pemuda yang berbeda agama untuk membangun rasa saling percaya (trust).
M. Ada program bacarita/ngobrol-ngobrol dengan masyarakat desa/ akar rumput (grassroote) tentang kerukunan umat beragama.
N. Mengadakan sosialisasi PBM dan pemelihraan kerukunan hidup beragama ke titik-titik daerah yang dianggap rawan.
O. Membangun visi dan missi bersama dalam membangun daerah.
P. Kantor Wilayah Departemen Agama perlu menindak lanjuti model dialog pengembangan wawasan multikultural ketingkat kabupaten, kecamatan dan desa, dengan mengikutsertakan semua potensi yang ada.
Q. Pemerintah daerah diharapkan mengeluarkan Perda tentang pelestarian nilai-nilai budaya lokal, dan merevitalisasinya dengan menyesuaikan dengan kondisi sekarang yang sedang berkembang.
R. Perlu diangkat perangkat bimas dan penyelenggara di tingkat provinsi dan kabupaten, bagi agama yang belum mempunyai aparat pelaksananya, dengan tetap memperhatiknan ketentuan dan peraturan yang berlaku.

Ternate, 30 Mei 2009

KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA DI BERBAGAI DAERAH INDONESIA

Oleh
Nuhrison M.Nuh
Kustini

I
PENDAHULUAN

Kerjasama antarumat beragama di Indonesia selama ini telah terjalin relatif cukup baik, terutama dalam bidang-bidang di luar masalah agama, seperti dibidang politik, sosial, dan ekonomi. Sekelom¬pok orang dalam suatu partai politik berjuang dan bekerjasama untuk kemajuan partainya, meski mereka berbeda suku, ras, dan agama. Sekelom¬pok pemuda dalam Karang Taruna bekerjasama mensukseskan kegiatan Peringatan HUT Kemerdekaan RI tanpa mengindahkan perbedaan agama yang mereka anut. Demikian halnya di bidang ekonomi, kerjasama antar penganut agama yang berbeda seakan tak pernah menjadi penghalang. Hiruk pikuk pasar adalah bukti nyata hal ini, hampir dipastikan segala proses transaksi perdagangan dan proses take and give di sana sama sekali tidak memperhatikan faktor agama.
Dalam bidang agama, dibeberapa daerah, kerjasama semacam itu, pada umumnya berjalan baik. Di Manado, misalnya, ketika di suatu kampung sedang dibangun suatu gereja, maka umat Islampun turut membantu baik berupa tenaga maupun dana. Demikian sebaliknya, umat Kristianipun biasa memberikan bantuan bila ada pembangunan mesjid di lingkungan mereka. Di Jawa Timur, dalam malam perayaan Natal terdapat sejumlah pasukan Banser NU turut menjaga keamanan di sekitar gereja, dalam pelaksa¬naan hari raya umat Kristiani tersebut. Yang relatif baru dan lebih maju, sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, kerjasama antarumat beragama bahkan dapat terwujud lebih nyata. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi wadah kerjasama antarumat beragama untuk bersama-sama memelihara keru¬kunan umat beragama dan menyelesaikan masalah-masalah intern dan antarumat beragama yang terjadi di lingkungan mereka, serta memberdayakan masyarakat.
Namun demikian di daerah-daerah lain kerjasama antarumat beragama tersebut belum bisa diwujudkan, bahkan terjadi hubungan yang kurang harmonis dan konflik. Menurut Nurcholish Madjid konflik yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia, tingkat kekejamannya sulit diterima oleh akal sehat. Sekarang ini hubungan intern dan antarumat beragama di daerah tertentu diwarnai berbagai ketegangan, kecurigaan bahkan kebencian, karena persaingan tidak sehat, terbawa arus ephoria politik serta perebutan harta dan tahta.
Selama lima tahun (1996-2001) kerusuhan sosial dan keagamaan semakin menjadi gejala yang umum bagi perjalanan kehidupan bangsa Indonesia. Pada tahun 1996 tercatat beberapa kerusuhan besar dan berdimensi agama maupun sosial. Unsur pemicunya adalah masalah agama, seperti terjadi di Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan dan Purwakarta. Pada tahun berikutnya kerusuhan terjadi di Kerawang, kemudian terjadi di Ketapang dengan modus yang hampir sama, menggunakan isu agama sebagai cara untuk membuat kerusuhan. Pola mempertentangkan dan menggunakan agama ini kemudian muncul di Kupang. Pada bulan Januari 1999, menjelang hari raya Idul Fitri, perkelahian di desa Batu Merah Bawah dengan warga Batu Merah Atas, akhirnya memicu pergolakan hampir diseluruh Ambon yang kemudian terus berlanjut dan menyebar ke seluruh Provinsi Maluku.
Berdasarkan hasil penelitian Wahid Institute yang dilakukan dari bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juni 2008, sedikitnya telah terjadi 109 kasus keagamaan di Indonesia yang terbagi dalam enam kategori. Keenam kategori itu adalah (1) kasus-kasus terkait kekerasan berbasis agama 39 kasus, (2) kebebasan beragama dan berkeyakinan 28 kasus, (3) kebebasan menjalankan agama dan keyakinan 9 kasus, (4) isu hak sipil warga negara 8 kasus, (5) kebebasan berpikir dan berekspresi 11 kasus, dan (6) terkait isu-isu moralitas 14 kasus.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, mengapa meskipun lembaga-lembaga interfaith dialog menjamur di mana-mana, hubungan antaragama dan kepercayaan di negeri ini masih diselimuti ketegangan, kecurigaan dan kekerasan. Adakah yang salah dalam mendesain dialog agama selama ini? Menurut Sumanto selama ini dialog dibangun hanya membicarakan persamaan-persamaan keagamaan karena hal ini dianggap bisa menjadi perekat, dasar, dan fondasi untuk membangun hubungan antarumat beragama yang harmonis dan peaceful. Menjadikan persamaan dan communalities sebagai basis dialog agama adalah perlu tetapi membicarakan perbedaan, sekali lagi dengan sikap elegan, saling menghargai, dan komitmen yang tulus untuk mencari “pemahaman dari dalam”, juga sangat vital dalam desain dialog agama. Selama ini memang telah dilakukan upaya penyingkapan perbedaan-perbedaan keagamaan dan keberagamaaan itu. Akan tetapi hal itu dilakukan dalam format monolog atau, kalau tidak, “debat kusir” yang diringi sikap sinisme dan semangat penuh kebencian untuk menjatuhkan kelompok keagamaan lain disatu sisi dan meneguhkan kebenaran dan superioritas kelompok keagamaannya sendiri dipihak lain. Model dialog semacam ini tentu saja kontra produktif dengan spirit dialog agama itu sendiri.
Defenisi dialog agama bukan terbatas pada perkataan melainkan juga perbuatan, misalnya tindakan antarkelompok agama untuk melakukan aksi-aksi kemanusiaan seperti kolaborasi lintas agama untuk menangani kemiskinan, konflik kekerasan, kelaparan, bencana alam, pengungsian dan lain sebagainya. Model dialog agama ini oleh Mohamed Abu-Nimer, Direktur Salaam Institute of Peace di washington DC, disebut sebagai humanity model sementara Leo Swider seorang sarjana dan praktisi dialog agama menyebutnya sebagai practice model (selanjutnya lihat David Smock, ed, Interfaith Dialogue and Peacebuilding).
Menurut Sumanto dialog agama jenis ini mampu mentransformasi para pengikut agama yang semula sangat keras, fanatik, konservatif, inward-looking, close-minded, ethnocentric, dan militan kemudian menjadi lunak, terbuka, open-minded, outward-looking, toleran dan berwatak pluralis. Mereka yang semula saling membenci, mencurigai, dan antipati bisa berubah saling menghargai, mencintai dan empati satu sama lain. Mereka sadar bahwa jalan kekerasan dan watak konservatisme yang mereka tempuh hanyalah membuahkan sikap permusuhan, malapetaka, dan bencana kemanusiaan belaka.
Uraian di atas menunjukkan, kerjasama boleh saja terjadi, namun belum seutuhnya dilandasi oleh kesadaran dan keikhlasan untuk bekerjasama. Kesediaan bekerjasama yang sejati memang meniscayakan adanya sikap keberagamaan yang kondusif dan tingkat keper¬cayaan (trust) yang tinggi terhadap ‘pihak lain’ yang berbeda. Sikap keberagamaan tersebut merupakan hal yang bersifat internal-bathini yang kemudian terwujud secara nyata dalam sikap. Sedangkan tingkat kepercayaan/trust lebih merupakan kepercayaan penuh kepada pihak lain dan tanpa melandaskan pada pengalaman masa lalu. Dalam konteks kerjasama antarumat beragama, sikap keberagamaan seseorang akan mempengaruhi tindakannya terhadap pihak lain yang berbeda agama, sedangkan trust akan mengukur sejauhmana pihak lain yang berbeda agama itu dapat dipercayai, sehingga dapat dilakukan kerjasama diantara mereka yang berbeda agama tersebut. Selain itu kerjasama antar umat beragama juga dipengaruhi oleh karakteristik individu dan status sosial ekonomi seseorang. Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan dan tingkat keper¬cayaan (trust) seseorang terhadap ‘pihak lain’ ditengarai dapat mempengaruhi kerjasama antarumat beragama.
Melihat fenomena sosial seperti diuraikan di atas, maka perlu diadakan penelitian untuk mengetahui sejauhmana Karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keber¬aga¬maan dan kepercayaan (trust) dapat mempengaruhi kerja¬sama antarumat beragama. Kajian seperti ini sangat penting dilakukan, dalam upaya untuk meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dari hanya sekedar bersifat pasif (toleran), menjadi kerukunan yang berwajah dinamis (mampu bekerjasama). Selain itu penelitian ini dilakukan dalam upaya mencari solusi terhadap berbagai konflik yang muncul diberbagai daerah, berupa langkah-langkah pencegahan dan pemeliharaan demi terciptanya kerukunan umat beragama yang sesungguhnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat diidentifikasi masalah yang berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama. Secara umum faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kerjasama antarumat beragama tersebut. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1). Apakah karakteristik seseorang memiliki hubungan dengan kerjasama antarumat beragama?, (2). Apakah penguasaan informasi berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (3). Apakah status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (4). Apakah sikap keberagamaan seseorang berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (5). Apakah tingkat kepercayaan (trust) seseorang berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?,(6). Apakah kondisi geografis berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (7). Apakah kultur masayarakat berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (8). Apakah transformasi budaya seseorang berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?, (9). Apakah akses informasi dan keadaan sosial ekonomi berpengaruh terhadap eksklusifitas?, (10). Apakah akses informasi dan keadaan sosial ekonomi berpengaruh terhadap Inklusifitas?, (11). Apakah akses informasi dan keadaan sosial ekonomi berpengaruh terhadap trust berdimensi ekspektasi?, (12). Pengaruh akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap trust berdimensi hubungan sosial?, (13). Apakah akses informasi, keadaan sosial ekonomi, sikap keberagamaan, dan trust berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka penelitian ini dibatasi pada masalah-masalah hubungan antara karakteristik individu dengan sikap keberagamaan, karakteristik individu dengan tingkat kepercayaan (Trust). Selanjutnya, pengaruh akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap eksklusifitas, akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap Inklusifitas, akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap trust berdimensi ekspektasi, akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap Trust berdimensi hubungan sosial, akses informasi, keadaan sosial ekonomi, sikap keberagamaan, dan trust terhadap kerjasama antarumat beragama
Berdasarkan identifikasi masalah diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: (1). Apakah karakteristik individu mempunyai hubungan dengan sikap keberagamaan, (2). Apakah karakteristik individu berhubungan dengan tingkat kepercayaan (Trust), (3). Apakah akses informasi dan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap eksklusifitas, (4). Apakah akses informasi dan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap Inklusifitas, (5). Apakah akses informasi dan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap trust berdimensi ekspektasi, (6). Apakah akses informasi dan status sosial ekonomi berpengaruh terhadap Trust berdimensi hubungan sosial, (7). Apakah akses informasi, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan, dan trust berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh insformasi tentang karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan, tingkat kepercayaan (trust) dalam kaitannya dengan kerjasama antar umat beragama. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
1. Hubungan karakteristik individu dengan sikap keberagamaan
2. Hubungan karakteristik Individu dengan tingkat kepercayaan (Trust)
3. Pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap eksklusifitas
4. Pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap Inklusifitas
5. Pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap trust berdimensi ekspektasi
6. Pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap Trust berdimensi hubungan sosial
7. Pengaruh akses informasi, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan, dan trust terhadap kerjasama Antarumat Beragama.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna, antara lain: secara teoritis akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memper¬kaya khazanah kepustakaan kerukunan umat beragama, khususnya mengenai pengaruh karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keber¬agamaan dan tingkat kepercayaan (trust) seseorang terhadap kerjasama antarumat beragama. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih lanjut tentang kerjasama antarumat beragama.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pimpinan Departemen Agama, khususnya Pusat Keru¬kunan Umat Beragama dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam upaya pemeliharaan kerukunan umat beragama, khususnya dalam meningkatkan kerjasama antarumat beragama.


II
KERANGKA TEORITIS
A. Deskripsi Teoritis
1. Tingkat Kerjasama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama.Kerjasama merupakan suatu bentuk proses sosial yang didalamnya terdapat persekutuan antara orang per orang atau kelompok manusia untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama dapat juga terjadi karena orientasi individu terhadap kelompoknya sendiri atau kelompok lain. Menurut C.H. Cooly, kerjasama akan timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri sendiri untuk memenuhi kepentingan itu.
Kerjasama akan menimbulkan asimilasi yaitu suatu proses yang ditandai dengan adanya usaha mengurangi perbedaan yang terdapat pada perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga berusaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama.
Dalam masyarakat yang plural dari segi identitas agama, maka kerjasama, seperti halnya konflik, menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari. Kerjasama sehari-hari terjadi dalam bentuk interaksi yang sederhana dan rutin antar anggota kedua kelompok. Kerjasama ini terjadi dalam bentuk kunjungan antar tetangga, makan bersama, pesta bersama, mengizinkan anak-anak untuk bermain, saling membantu antar tetangga dan lain-lain. Sementara kerjasama asosiasional terjadi dalam kelompok-kelompok yang lebih terorganisir seperti asosiasi bisnis, organisasi profesional, perkumpulan olah raga, atau perkumpulan antar anggota partai politik tertentu. Seiring dengan dinamika masyarakat, Varshney mengindikasikan bahwa pada masyarakat modern atau masyarakat perkotaan, kerjasama sehari-hari semakin sulit dilakukan. Oleh karena itu, kerjasama asosiasional menjadi pilihan untuk lebih mendekatkan hubungan antar kelompok masyarakat termasuk antar agama.
Secara sosiologis, seseorang akan melakukan berbagai tindakan, termasuk tindakan dalam bentuk kerjasama, dengan mengarah kepada suatu tujuan tertentu dan tujuan itu ditentukan oleh nilai atau pilihan (preferensi). Dengan menganalogikan kepada teori ekonomi, Coleman (dalam Ritzer dan Goodman, 2003, 427) seorang aktor hampir selalu berperilaku rasional dalam arti memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan atau yang memuaskan keinginan dan kebutuhannya. Melalui teori pilihan rasional (rational choice theory) Coleman melihat ada dua unsur utama dalam setiap pilihan tindakan manusia yaitu aktor dan sumber daya. Sumber daya adalah sesuatu yang menarik perhatian dan yang dapat di kontrol oleh aktor. Interaksi minimal antara dua actor dan sumber daya pada akhirnya dapat membentuk system sosial.
2. Karakteristik Individu dan Status Sosial Ekonomi
Pemikiran Weber mengenai struktur sosial, atau lebih khususnya sistem stratifkasi sosial memiliki kesamaan dengan Marx. Hanya saja, Weber menambahkan aspek status dan power dalam menganalisis kelas sosial dalam struktur masyarakat, disamping faktor ekonomi yang disebutnya sebagai privelese. (Bendix dan Lipset, 1968:21-27). Kelompok status merupakan penggolongan individu dalam lapisan sosial berdasarkan penghormatan atau prestise (prestige), seperti yang dinyatakan dalam gaya hidup mereka. Sedangkan dimensi kekuasaan dicerminkan dari kesempatan seseorang untuk melakukan keinginannya dalam tindakan komunal. Dengan kata lain susunan lapisan sosial yang berdasarkan dimensi kekuasaan dipandang dari segi adanya kesempatan untuk memperoleh atau mewujudkan keinginan, yang tidak sama bagi setiap individu. Lebih lanjut, beberapa pendapat dan hasil penelitian mengkaitkan ketiga aspek struktural tersebut di atas, ternyata berhubungan secara signifikan dengan karakteristik individu anggota sistem sosial itu. Oleh sebab itu karakteristik individu dan status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap kerjasama.
2. Sikap Keberagamaan
Raimundo Panikkar (1994), sosiolog-teolog asal India, menggo¬long¬kan tiga macam sikap keber¬¬agamaan yaitu:(1) Eksklusivisme. Sikap ini cenderung memutlakkan kebenaran penda¬patnya (dalam hal ini agamanya) sendiri, dengan meniadakan sama sekali akan kebenaran di luar agamanya. Sikap seperti ini tentu saja tidak menguntungkan bagi kerukunan dan kerjasama antarumat beragama. (2) Inklusivisme. Sikap ini cenderung untuk menginterpretasikan kem¬bali teks-teks keagamaan, sehingga interpretasi tersebut tidak hanya cocok tetapi juga dapat diterima. Tegasnya, ia meyakini agamanya yang paling benar, tetapi dalam waktu bersamaan ia mengakui agama-agama uga boleh jadi memiliki kebenaran, dan ia tidak memper¬masalahkan adanya agama-agama lain tersebut.(3) Paralelisme/pluralisme. Sikap ini memandang agama sebagai sesuatu yang jauh dari sempurna, namun juga agama dipahami sebagai simbol dari jalan yang benar. Tegasnya, sikap ini memandang agama yang dipeluknya adalah benar dan agama lainnya juga memiliki kebenarannya masing-masing.
Sementara itu, Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyebut ada lima tipologi sikap keberagamaan, yakni: eks¬klusivisme, inklusivisme, pluralisme, eklektivisme, dan univer¬salisme. Kelima tipologi ini tidak berarti masing-masing lepas dan terputus dari yang lain dan tidak pula permanen, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai sebuah kecenderungan menonjol, mengingat setiap agama maupun sikap keberagamaan senantiasa memiliki potensi untuk melahirkan kelima sikap di atas. Kelima sikap keberagamaan itu ialah: (1) Eksklusivisme. Sikap ini akan melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya, sedangkan agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya dikonversi, sebab agama dan penganutnya terkutuk dalam pandangan Tuhan. (2) Inklusivisme. Sikap ini berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman. (3) Pluralisme atau Paralelisme. Sikap teologis paralelisme bisa ter¬ekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama; agama-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran-kebenaran yang sama sah; atau, setiap agama mengekspre¬sikan bagian penting sebuah kebenaran. (4) Eklektivisme. Yakni sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat eklektik. (5) Universalisme. Sikap ini beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya saja, karena faktor historis-antropologis, agama lalu tampil dalam format plural.
Dari berbagai teori yang dikemukakan diatas dalam penelitian ini hanya digunakan dua saja sikap keberagamaan dari Raimundo Panikkar, yaitu sikap keberagamaan yang eksklusif dan sikap keberagamaan yang inklusif. Hal ini dengan pertimbangan bahwa sikap keberagamaan pluralisme atau paralelisme hampir sama dengan sikap keberagamaan yang inklusif.
3. Tingkat Kepercayaan (Trust)
Konsep trust merujuk kepada pendapat Lawang (2005:45-61), yang mengemukakan inti kepercayaan ataupun rasa saling percaya antar manusia senyatanya terdiri dari tiga hal yang saling terkait yaitu menyangkut hubungan sosial antara dua orang atau lebih. Selain itu kepercayaan mengandung adanya harapan menunjuk pada suatu yang akan terjadi di masa datang, dan hal ini berhubungan dengan sesuatu yang menjadi cita-cita untuk dicapai. Terakhir, inti rasa saling percaya itu adalah adanya tindakan sosial atau interaksi sosial sebagai buah dari rasa saling percaya. Dengan demikian maka tingkat kepercayaan yang dimaksudkan adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang mengandung harapan yang menguntungkan salah satu atau kedua belah pihak melalui interaksi sosial.
Lebih lanjut dikemukakan, bahwa tingkat kepercayaan mengandung hubungan timbal balik. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Fukuyama (1995), bahwa sepanjang ada rasa saling percaya dalam perilaku hubungan kekerabatan maka akan terbangun prinsip-prinsip pertukaran atau resiprositas. Menurutnya, rasa percaya merupakan landasan bagi perilaku moral dimana kapital sosial dibangun. Sementara, membangun rasa saling percaya adalah suatu proses yang sejak awal sudah ada dalam suatu keluarga. Kemudian rasa percaya itu berkembang menjadi suatu landasan berperilaku dalam hubungan kekeluargaan yang akan memunculkan prinsip-prinsip resiprositas (Fukuyama, 1995). Lebih lanjut, rasa percaya akan memudahkan terbangun dan terjalinnya kerja sama.
A. Review Studi-Studi Terdahulu
Studi tentang kerjasama antarumat umat beragama melalui pendekatan kuantitatif sejauh ini belum banyak dilakukan. Diantara sedikit penelitian yang pernah dilakukan antara lain bisa disebut Fu Xie, Asuthos Varshney, Tim dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS dan Kusumadewi.
Dalam rangka menyusun disertasinya, Fu Xie (2006) melakukan penelitian tentang Hubungan Antara Orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Variabel dependen dalam penelitian adalah: perilaku inklusif, sikap inklusif, dan trust terhadap orang dari agama lain. Sedangkan variabel independen dikelompokkan ke dalam tiga tingkat yaitu: (1) identitas dan interaksi sehari-hari yang termasuk dalam tingkat mikro, (2) interaksi asosiasional yang mewakili tingkat meso, dan (3) pengaruh negara (state) yang merupakan tingkat makro.
Temuan penelitian antara lain menyatakan bahwa: (1) Orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih berperilaku inklusif dibandingkan dengan orang Islam. (2) di kota kecil (Sukabumi) semakin tinggi perilaku inklusif seseorang maka semakin tinggi sikap inklusif maupun tingkat trust terhadap agama lain; namun demikian hal itu tidak berlaku di kota besar seperti Bandung. (3) di kota besar, seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust terhadap agama lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. (4) di kota besar seperti Bandung anggota dari kelompok minoritas (seperti Kristen) akan kurang menonjolkan identitas kekristenannya dan lebih menonjolkan identitas yang lain. (5) di kota besar seperti Bandung seseorang yang memiliki identitas yang kuat akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang lain. Namun hal ini tidak berlaku di kota kecil seperti Sukabumi. (6) Untuk orang Islam, semakin tinggi mobilitas seseorang maka semakin tinggi juga perilaku maupun sikap inklusifnya, namun hal ini tidaklah berlaku untuk orang Kristen.
Lucia Ratih Kusumadewi (1999) dalam rangka penulisan skripsinya telah melakukan penelitian dengan judul: “Sikap Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa”: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta. Tujuan penelitian tersebut adalah: (1) mendeskripsikan kecenderungan sikap keberagamaan dan tolerasni beragama di kalangan mahasiswa; (2) menganalisis dan mendiskusikan hubungan antara toleransi beragama dengan sikap keberagamaan; (3) menganalisis dan mendiskusikan hubungan antara sikap keberagamaan dengan komunitas kampus; dan (4) menganalisis dan mendiskusikan hubungan antara sikap keberagamaan dengan agama.
Dengan menggunakan metode kuantitatif, dan pengumpulan data melalui survey, Kusumadewi menyimpulkan bahwa mahasiswa yang termasuk kalangan terdidik memiliki kecenderungan sikap keberagamaan yang pluralis dalam arti menghargai kebenaran-kebenaran lain di luar kebenaran agamanya. Berbagai faktor turut mempengaruhi terjadinya kondisi ini antara lain faktor agama dan komunitas kampus. Agama merupakan faktor dominan yang memiliki andil besar dalam pembentukan sikap keberagamaan yang pada gilirannya sikap ini kemudian mempengaruhi terciptanya toleransi pada tingkat tertentu. Sedangkan faktor komunitas kampus disimpulkan tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, melalui Direktorat Agama dan Pendidikan, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan, melakukan Kajian dengan judul: ”Peran Lembaga Sosial Keagamaan Dalam Pengembangan Wawasan Multikulturalisme”. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab sejumlah pertanyaan penting tentang Pemikiran, Sikap, dan Prilaku Elit Keagamaan Yang Mewakili Lembaga Sosial Keagamaan Menyangkut Isu-Isu Sekitar Multikiulturalisme. Multikulturalisme dirumuskan ke dalam sejumlah konsep operasional, yakni toleransi, demokrasi, pendidikan, kesetaraan gender dan sejumlah isu penting lainnya. Diantara hasil kajian tersebut, yang berkaitan dengan Toleransi Sosial dan Keagamaaan diperoleh hasil sebagai berikut: 100% responden tidak keberatan bertetangga dengan orang yang berbeda suku atau ras. 91,67% responden tidak keberatan bila tetangga berbeda agama mengadakan acara keagamaan mereka. 100% responden tidak keberatan jika mereka yang berbeda agama memberi bantuan ke lembaga-lembaga Islam (madrasah, Mesjid dsb) atau sebaliknya jika orang Muslim membantu lembaga-lembaga non Islam (Gereja, Pura dll). Sebagian besar responden (86,67%) tidak setuju dengan tindakan seseorang/sekelompok orang menutup atau merusak rumah ibadah kelompok lain dengan alasan apapun. 100 % responden tidak setuju dengan tindakan seseorang/sekelompok orang untuk menyerang kelompok agama lain (seperti Kasus Ahmadiyah) dengan alasan apapun. Dan 100% responden tidak setuju dengan tindakan seseorang/sekelompok orang untuk melakukan pemboman terhadap orang-orang asing (Bom Bali) atau fasilitas yang diyakini sebagai bentuk kepentingan asing (Bom Mariot atau Kedubes Australia) dengan alasan apapun. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa tingkat toleransi warga masyarakat sudah tergolong tinggi dan sangat kondusif untuk terciptanya kerukunan.
Studi di luar negeri yang patut dicermati telah dilakukan oleh Ashutosh Varshney di India terhadap hubungan yang terjadi antara orang Hindu dan Islam. Penelitian yang dilakukan di 68 kota di India, kemudian mengkaji pengaruh dari interaksi sehari-hari (everyday interaction) dan interaksi asosiasional (associational interaction) dalam masyarakat sipil (civil society). Melalui survey, studi dokumen, dan wawancara mendalam, Varshney menunjukkan bahwa pada masyarakat perkotaan interaksi asosiasional lebih efektif dibandingkan dengan interaksi sehari-hari.
C.Kerangka Berpikir.
Faktor-faktor yang ditengarai mempengaruhi seseorang bersedia atau tidak bersedia untuk melakukan kerjasama adalah karakteristik individu, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan dan tingkat kepercayaan/trust terhadap umat beragama lain.
1. Hubungan Karakteristik Individu dengan Sikap Keberagamaan,
Karakteristik individu merupakan ciri khas dari seorang individu. Karakter individu ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tingkat pendidikan yang dia capai, pengetahuan agama yang dia peroleh, lokasi dimana dia tinggal, dan latar belakang pekerjaan. Sedangkan sikap keberagamaan adalah sikap seseorang terhadap orang lain dalam hal yang berkaitan dengan agama. Sikap keberagamaan itu bisa terwujud berupa dapat menerima keberadaan orang yang beragama lain (inklusif), atau dia menolak keberadaan penganut agama lain (ekslusif). Sikap keberagamaan seseorang dapat dipengaruhi oleh karakteristik individu. Bagi seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang cukup tinggi, pengetahuan agama yang mendalam, tinggal dalam budaya yang terbuka, dan mempunyai pekerjaan yang memadai, diperkirakan akan memiliki hubungan dengan sikap keberagamaannya terhadap orang lain, demikian pula sebaliknya, mereka yang berpendidikan rendah, memiliki pengetahuan agama yang sempit, berasal dari budaya yang tertutup, dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap akan mempunyai hubungan yang berbeda nyata dalam masalah sikap keberagamaan. Oleh sebab itu dalam penelitian ini diasumsikan bahwa karakteristik individu mempunyai hubungan dengan sikap keberagamaan.
2. Hubungan Karakteristik Individu dengan Tingkat Kepercayaan (Trust).
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa karakteristik individu ditentukan oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan yang diperoleh, pengetahuan agama yang dimiliki, lokasi dimana mereka tinggal (setting budaya), dan latar belakang pekerjaan. Sedangkan tingkat kepercayaan adalah sejauh mana seseorang yang berbeda agama itu dapat dipercaya. Seseorang yang mempunyai pendidkan yang tinggi, akan selalu menggunakan rasionya dalam mengadakan kontak dengan orang lain, oleh sebab itu mereka yang berpendidikan tinggi akan selalu berpikir positif thingking terhadap orang lain, sehingga tidak gampang curiga terhadap orang lain. Demkian pula seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas, tidak mudah curiga terhadap penganut agama lain, sehingga mudah untuk memiliki trust terhadap orang yang berbeda agama. Faktor budaya dan pekerjaan juga mempunyai hubungan dengan trust. Di Manado umpamanya karena adanya budaya yang terbuka dan semboyan Torang Samua Basudara sangat mudah memunculkan trust diantara mereka yang berbeda agama. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa karakteristik individu mempunyai hubungan dengan tingkat kepercayaan (Trust).
3. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial Ekonomi Terhadap Eksklusivitas dan Inklusivitas.
Akses informasi adalah kemudahan/ kemampuan seseorang untuk menyerap informasi dari berbagai sumber, seperti surat kabar, majalah, radio dan televisi. Bagi mereka yang mempunyai kemudahan untuk menyerap informasi maka mereka akan kaya terhadap berbagai informasi yang diperolehnya dari berbagai sumber tersebut. Kekayaan informasi yang dimilikinya tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat eksklusivitas sikap keberagamaannya. Diperkirakan mereka yang sangat sedikit menyerap informasi akan mempunyai sikap keberagamaan yang eksklusive, sebab mereka kurang mengenal akan keberadaan kelompok lain. Demikian pula mereka yang mempunyai status sosial ekonomi yang tergolong menengah keatas, akan banyak bergaul dengan orang dari berbagai suku dan agama yang berbeda, dengan demikian diharapkan mereka dapat menerima keberadaan orang lain yang berbeda. Tetapi sebaliknya bagi mereka yang tingkat status sosial ekonominya tergolong rendah, pergaulannya terbatas pada kelompok yang berada disekitarnya, sehingga cendrung untuk bersikap hati-hati terhadap keberadaan kelompok lain, sehingga sikap keberagamaannya cendrung bersifak eksklusive.
5. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial Ekonomi Terhadap Trust Berdimensi Ekspektasi.
Akses informasi dan status sosial ekonomi diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap trust berdimensi ekspektasi. Setiap orang akan mempunyai kepercayaan terhadap orang lain bila orang tersebut diperkirakan akan memberikan keuntungan baginya atau kedua belah pihak, Harapan akan keberuntungan itu akan muncul melalui informasi yang diperolehnya, dan status sosial ekonomi orang yang berinteraksi dengannya. Dengan status sosial ekonomi yang memadai dimiliki oleh seseorang, ia akan dengan mudah dipercaya bila ia ingin meminjam sesuatu barang yang berharga, karena dengan harapan kalau terjadi sesuatu terhadap barang yang dipinjamnya dia akan mampu untuk menggantinya. Lain halnya terhadap mereka yang eknominya tergolong rendah, seseorang akan merasa ragu-ragu untuk meminjamkan barang berharga milikinya,sebab kalau terjadi sesuatu, orang tersebut tidak mampu untukmenggantinya.
6. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial Ekonomi Terhadap Trust Berdimensi Hubungan Sosial.
Akses informasi dan status sosial ekonomi diperkirakan mempunyai pengaruh terhadap trust berdimensi hubungan sosial. Hubungan sosial dalam masyarakat yang semakin maju, sulit untuk dihindari. Oleh sebab itu perlu ditumbuhkan trust yang berdimensi hubungan sosial. Untuk dapat menumbuhkan trust yang berdimensi hubungan sosial, maka akses informasi terhadap berbagai kelompok perlu dibuka dengan lebar. Demikian pula kesenjangan ekonomi diantara penduduk perlu dibatasi, agar tidak muncul kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial akan menghilangkan trust terhadap kelompok lain.
7. Pengaruh Akses Informasi, Status Sosial Ekonomi, Sikap Keberagamaan, Dan Trust Terhadap Kerjasama Antarumat Beragama.
Variabel inti dari penelitian ini adalah Kerjasama antarumat beragama. Kerjasama antarumat beragama tersebut dipengaruhi oleh tingkat akses informasi, keadaan sosial ekonomi, sikap keberagamaan dan trust, Akses informasi diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kerjasama. Informasi yang kurang memadai terhadap kelompok lain yang berbeda agama, sering menimbulkan kecurigaan dan issu-issu yang kurang menguntungkan. Dikalangan umat Islam umpamanya, dengan munculnya banyak gereja disuatu daerah sering dimunculkan issu Kristenisasi, hal itu disebabkan kurangnya informasi tentang keberadaan aliran-aliran keagamaan didalam agama Kristen. Dimana diantara aliran-aliran tersebut tidak dapat menggunakan gereja yang sama untuk beribadah, berbeda dengan umat Islam bisa beribadah di masjid mana saja dia mau. Kurangnya informasi tersebut antara lain berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama.
Status sosial ekonomi seseorang diperkirakan berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama. Seseorang yang mempunyai status sosial ekonomi yang memadai, dalam menjalankan roda perekonomiannya, cendrung untuk berhubungan dengan orang lain yang berbeda baik suku maupun agama. Begitu pula seseorang yang memiliki usaha tertentu, biasanya merekrut pegawai yang profesional dengan tanpa melihat latar belakang agamanya. Oleh sebab itu diperkirakan status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap kerjasama antar umat beragama.
Sikap keberagamaan diasumsikan mempunyai pengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama. Seseorang untuk dapat bekerjasama dengan orang lain, didorong oleh sikapnya terhadap orang atau kelompok tersebut. Kalau sikapnya tidak menghargai orang atau kelompok lain, maka sudah barang tentu akan sulit untuk menciptakan kerjasama diantara mereka. Sebaliknya bila seseorang mempunyai sikap terbuka, tolerans dan menghargai orang atau kelompok lain, maka sangat terbuka untuk membangun kerjasama diantara mereka yang berbeda agama. Maka kerjasama tersebut dapat diwujudkan, tergantung pada sikap keberagamaan seseorang.
Kerjasama antarumat beragama dapat tercipta bila diantara mereka terdapat rasa saling percaya. Bila rasa saling percaya itu belum tumbuh pada masing-masing kelompok agama, sangat sukar untuk menciptakan kerjasama antar umat beragama. Untuk menumbuhkan rasa saling percaya tersebut, perlu dilakukan semacam dialog, seminar, temu karya, untuk membicarakan hal-hal yang kemungkinan dapat dikerjasamakan. Dalam kerjasama rasa saling percaya itu sangat diperlukan. Oleh sebab itu diasumsikan bahwa trust mempunyai pengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama. Dengan demikian, kerangka peneltian dapat digambarkan seperti berikut:





Gambar 1. Kerangkan Pikir Penelitian

B. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan karakteristik Individu dengan sikap keberagamaan,
2. Terdapat hubungan karakteristik Individu dengan tingkat kepercayaan (Trust)
3. Terdapat pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap eksklusivitas
4. Terdapat pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap Inklusivitas
5. Terdapat pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap trust berdimensi ekspektasi
6. Terdapat pengaruh akses informasi dan status sosial ekonomi terhadap Trust berdimensi hubungan sosial
7. Terdapat pengaruh akses informasi, status sosial ekonomi, sikap keberagamaan, dan trust terhadap kerjasama antarumat beragama


III
METODOLOGI
A. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berpegang kepada asumsi ontologis bahwa realitas sosial yang diteliti dipandang tunggal yakni memfokuskan topik penelitian kepada kerjasama antarumat beragama. Sementara secara epistimologi, penelitian ini memandang subyek dan realitas sosial yang diteliti secara obyektif dengan menggunakan metode kuantitatif dan didekati dengan melakukan survai.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di 6 lokasi, yaitu: 1. Medan, Sumatera Utara; 2. Palu, Sulawesi Tengah; 3. Bandung, Jawa Barat; 4. Semarang, Jawa Tengah; 5. Bandar Lampung, Lampung; dan 6. Singkawang, Kalimantan Barat. Pemilihan 6 lokasi ini dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut pernah terjadi konflik ( Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah) dan daerah yang belum pernah terjadi konflik, selain itu juga didasari pertimbangan bahwa daerah tersebut memiliki komposisi jumlah penganut agama yang beragam, sehingga dimung¬kinkan terjadi interaksi dan kerjasama antarumat beragama. Untuk menyamakan pemahaman terhadap materi kuesioner, enumerator diberikan pembekalan (coaching) dilanjutkan dengan uji coba kuesioner (try-out) di Purwakarta, Jawa Barat. Uji coba (try-out ) instrumen dilksanakan pada akhir bulan September 2008. Sedangkan penelitian di berbagai tempat tersebut dilaksanakan pada bulan Oktober 2008.
C. Teknik Pengambilan Sampel
Populasi penelitian ini adalah anggota masyarakat berbeda agama di enam provinsi terpilih secara purposive, yang selanjutnya dari enam propinsi itu dipilih masimng-masing satu kabupaten atau kota yang memiliki heterogenitas agama yang tinggi. Jumlah sampel ditetapkan sebanyak 330 orang, dengan perincian setiap lokasi sebanyak 55 orang responden, yang terdiri dari penganut agama berbeda. Dari 330 orang responden yang ditetapkan masuk sebanyak 328 orang, missing 9 orang, kuesioner yang dipakai ada yang 328 ada yang 319 kuesioner. Lokasi penelitian ditentukan berdasarkan komposisi jumlah pemeluk agama di tingkat kecamatan, dengan proporsi jumlah pemeluk agama kelompok mayoritas sebesar 50% - 70% dan sisanya dari kelompok agama lainnya. Penentuan sampel penelitian ini dilakukan secara proporsional accidental sampling. Proporsi sampel didasarkan atas komposisi jumlah pemeluk agama di masing-masing lokasi penelitian.

D. Instrumen Penelitian.
1. Definisi Konseptual Variabel Kerjasama Antar Umat Beragama, Karakteristik Individu, Status Sosial Ekonomi, Sikap Keberagamaan, dan Tingkat Kepercayaan (Trust).
Kerjasama adalah kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks ini, adalah kegiatan bersama di antara umat yang berbeda agama, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan terkait agama. Umat beragama sendiri diartikan sebagai kelompok masyarakat yang memeluk suatu agama, dalam hal ini agama-agama yang banyak dianut di Indonesia, yakni: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu
Thurstone memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek-obyek psikologis (Edwards, 1957: 2). Selanjutnya Walgito (2003: 110) menegaskan bahwa sikap merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada seseorang untuk membuat respon dalam cara tertentu yang dipilihnya.
Sikap merupakan faktor yang ada dalam diri manusia yang dapat mendorong atau menimbulkan perilaku tertentu, namun demikian sikap mempunyai segi-segi perbedaan dengan pendorong-pendorong lain yang ada dalam diri manusia itu. Oleh karenanya untuk membedakan sikap dengan pendorong yang lain, perlu dipahami beberapa ciri atau sifat dari sikap. Adapun ciri-ciri sikap adalah: (a) sikap tidak dibawa sejak lahir, (b) sikap selalu berhubungan dengan obyek, (c) sikap dapat tertuju pada satu obyek saja, namun juga dapat tertuju pada sekumpulan obyek, (d) sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar, dan (e) sikap mengan¬dung faktor perasaan dan motivasi.
Gordon W. Allport, seorang psikolog sosial, mengartikan sikap sebagai “keadaan mental dan syaraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya”. Dalam kerangka ini, sikap keberagamaan berarti “keadaan mental dan syaraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada semua obyek kehidupan beragama.” Kehidupan beragama itu sendiri mencakup pandangan-pandangan terhadap sesama pemeluk agama dan pemeluk agama lain yang sangat dipengaruhi oleh penge¬tahuan dan pengalaman terhadapnya.
Pemikiran Weber mengenai struktur sosial, khususnya mengenai sistem stratifkasi sosial memiliki kesamaan dengan Marx. Hanya saja, Weber menambahkan aspek status dan power dalam menganalisis kelas sosial dalam struktur masyarakat, disamping faktor ekonomi yang disebutnya sebagai privelese. (Bendix dan Lipset, 1968:21-27). Kelompok status merupakan penggolongan individu dalam lapisan sosial berdasarkan penghormatan atau prestise (prestige), seperti yang dinyatakan dalam gaya hidup mereka. Sedangkan dimensi kekuasaan dicerminkan dari kesempatan seseorang untuk melakukan keinginannya dalam tindakan komunal. Dengan kata lain susunan lapisan sosial yang berdasarkan dimensi kekuasaan dipandang dari segi adanya kesempatan untuk memperoleh atau mewujudkan keinginan, yang tidak sama bagi setiap individu. Lebih lanjut, beberapa pendapat dan hasil penelitian mengkaitkan ketiga aspek struktural tersebut di atas, ternyata berhubungan secara signifikan dengan karakteristik individu anggota sistem sosial itu. Oleh sebab itu karakteristik individu dan status sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap kerjasama.


Trust berbeda dengan percaya (believe). Seorang percaya kepada orang lain karena orang itu sudah membuktikan diri di masa lampau dan believer sudah mengetahuinya dengan pasti. Manaruh trust terhadap seseorang lebih dari sekedar percaya. Truster percaya kepada trustee walaupun ada ketidakpastian. Trust bukan mengacu pada masa lampau namun pada masa yang akan datang. Truster menaruh trust bahwa trustee akan bisa melakukannya pada masa yang akan datang. Trust selalu melibatkan unsur resiko.

2. Definisi Operasional Variabel Kerjasama Antar Umat Beragama, Karakteristik Individu, Status Sosial Ekonomi, Sikap Keberagamaan, dan Tingkat Kepercayaan (Trust)
Definisi operasional masing-masing Variabel dan Indikator yang Diukur
Seperti ditulis pada tabel berikut:


Variabel
Indikator yang Diukur
Keterangan

Karakteriritik/ Ragam Ciri Individu:

• Umur
• Jenis Kelamin
• Agama
• Suku Bangsa
• Lama Pendidikan
• Lama Tinggal
• Jumlah organisasi yang diikuti Indikator yang digunakan adalah hasil dari beberapa studi dan dikembangkan berdasarkan pemikiran tim peneliti
Penguasaan informasi dan Keadaan Sosial Ekonomi • Akses Informasi
• Status Sosial/prestise
• Power
• Priviles Indikator yang digunakan merupakan hasil pengembangan dari tim peneliti
Sikap Keberagamaan
• Inklusivitas
• Eksklusivitas Dimodifikasi dari hasil studi Fu Xie
Rasa Saling Percaya (Trust) • Hubungan Sosial
• Ekspektasi Indikator yang digunakan disarikan dari Vipriyanti dan hasil pengembangan pemikiran tim peneliti
Kerjasama • Interaksi sehari-hari:
 Jumlah relasi (orang) yang sudah dijalin
 Jumlah teman dekat
 Jenis atas ragam kerjasama
• Interaksi asosiasional:
 Keikutsertaan dalam berbagai organisasi
 Partisipasi dalam organisasi (kehadiran dalam pertemuan dan jumlah pengeluaran untuk organisai)
 Jenis kegiatan bersama yang pernah diikuti
 Motivasi atau Semangat bekerja sama dalam kelompok atau organisasi
 Status dalam organisasi
 Jumlah organisasi formal yang diketahui
 Organisasi informal yang diketahui Indikator yang digunakan disarikan dari Vipriyanti ) dan Varshney dan hasil pengembangan pemikiran peneliti

C. Teknik Analisis Data
Beberapa teknik analisis data dilakukan untuk mendukung hasil penelitian secara deskriptif dan inferensia. Untuk deskripsi data hasil survai dilakukan melalui tabulasi data. Sementara untuk keperluan statistic inferensia digunakan antara lain tekni uji statistic seperti: t-test, korelasi (Pearson), One-way ANOVA, regresi linear berganda, yang dilanjutkan dengan melakukan analisis jalur (path analysis) sesuai dengan model hipotetik dari studi ini. Tahap pengolahan data dimulai dari editing, tabulasi, kompilasi, dan data entry yang memanfaatkan software Exel 2003 dan selanjutnya dianalisis dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for Sosial Sciences).
1. Data dan Instrumentasi
Data penelitian ini dibedakan menjadi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dari kepala keluarga sebagai sampel. Jenis data yang dikumpulkan beragam dari data nominal untuk: agama; data interval untuk: kedudukan dalam organisasi keagamaan. Data rasio untuk usia, lama sekolah (tingkat pendidikan), dan jumlah pendapatan. Data primer juga dilengkapi dari pengamatan langsung yang didapatkan peneliti selama melaksanakan pengumpulan data primer, namun tidak tercantum dalam kuesioner. Data ini diharapkan dapat melengkapi data dan gambaran umum tentang sampel dan wilayah penelitian. Data sekunder dikumpulkan dari lembaga atau dinas instansi yang terkait dengan penelitian ini.
Instrumentasi merupakan upaya menyusun alat ukur atau menentukan parameter terhadap variabel yang diteliti. Instrumentasi yang berupa kuesioner dikembangkan melalui penentuan batasan operasional dari variabel, menetapkan indikator-indikator variabel, dan menentukan parameter dari setiap indikator variabel. Kuesioner yang telah disusun, sebelum digunakan untuk mengumpulkan data penelitian terlebih dulu diuji validitas dan reliabilitasnya.
2. Reliabilitas dan Validitas Instrumen Penelitian
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur didalam mengukur gejala yang sama. Sedangkan validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini menggunakan kuesioner, maka kuesioner yang digunakan harus mengukur apa yang ingin diukur.
Uji reliabilitas instrument yang digunakan dalam peneltian ini dilakukan baik terhadap data uji coba (pretest) yang diujicobakan di Purwakarta, maupun terhadap data hasil survai lapangan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan hasil uji reliablitas instrument pendahuluan (pretest) yang dilakukan di Purwakarta, dengan data hasil survai. Secara umum hasil uji reliabilitas sudah memadai, meskipun untuk beberapa variabel mengandung item-item yang reliabilitasnya memiliki alpha Cronbach dibawah 0,6.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS dengan melihat Nilai Total Alpha Cronbach, yakni minimal 6,0. Selanjutnya setiap variabel ataupun indikator diuji item-item yang menjadi komponen kuesioner. Jika nilai total alpha Cronbach lebih besar dari 0,6 maka item-item tersebut dipertahakan dalam kuesioner, dengan catatan Cronbach's Alpha if Item Deleted bernilai lebih dari 0,756 (nilai alpha Cronbach hasil uji) sebagai ambang batas minimal dari nilai total, dan juga didasari dari hasil Corrected Item-Total Correlation adalah berkorelasi positif dalam uji reliabilitas. Berdasarkan uji realibiitas dan validitas yang dilakukan maka ternyata instrumen yang digunakan sangat valid untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan.

IV
HASIL PENELITIAN

A. Diskripsi Responden dan Data Penelitian
Berikut ini akan disajikan profil responden yang terdiri dari (1) jenis kelamin, (2) agama, (3) pekerjaan, (4) umur (5) lama domisili (6) pendidikan (7) jumlah pengeluaran, dan (8) suku.
1. Profil Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden terdiri dari laki-laki sebanyak 219 orang (68,7%) dan perempuan sebanyak 100 orang (31,3%). Mengapa responden laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan responden perempuan karena berdasarkan pertimbangan yang banyak mengadakan interaksi dengan orang lain di luar rumah adalah laki-laki. Selengkapnya gambaran responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 3.


Tabel 1
Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid perempuan 100 30.5 31.3 31.3
Laki-laki 219 66.8 68.7 100.0
Total 319 97.3 100.0
Missing System 9 2.7
Total 328 100.0

2. Profil Responden Berdasarkan Agama
Profil responden bila dilihat dari jumlah pemeluk agama, mayoritas responden beragama Islam, dengan jumlah respoden sebanyak 182 orang (57,1%), beragama Kristen sebanyak 55 orang (17,2%), beragama Katolik sebanyak 28 orang (8,8%), beragama Buddha sebanyak 28 orang (8,8%), beragama Khonghucu 17 orang (5,3%) dan yang beragama Hindu berjumlah 9 orang (2,8%). Jumlah responden dari masing-masing agama berdasarkan proporsi jumlah pemeluk agama di wilayah tingkat kecamatan sasaran penelitian. Bukan menggambarkan jumlah pemeluk agama pada tingkat nasional maupun provinsi. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 2
Responden Berdasarkan Agama
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Islam 182 55.5 57.1 57.1
Kristen 55 16.8 17.2 74.3
Katholik 28 8.5 8.8 83.1
Hindu 9 2.7 2.8 85.9
Buddha 28 8.5 8.8 94.7
Konghuchu 17 5.2 5.3 100.0
Total 319 97.3 100.0
Missing System 9 2.7
Total 328 100.0

3. Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan
Profil responden bila dilihat dari aspek pekerjaan, mayoritas bekerja sebagai nelayan/petani/buruh, sebanyak 103 orang (32,3 %), bekerja yang dikelompokkan dalam lain-lain (ibu RT, wiraswasta, tukang) sebanyak 99 orang (31%), bekerja sebagai PNS sebanyak 74 orang (23,2%), bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 36 orang (11,3%), bekerja sebagai pedagang besar/pengusaha 4 orang (1,3%) dan sebagai anggota TNI/Polri sebanyak 3 orang (9%). Data ini memang menggambarkan karakteristik penduduk Indonesia yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani dan nelayan. Lebih lanjut lihat tabel 5.

Tabel 3
Responden Berdasarkan Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Nelayan, Petani, Buruh 103 31.4 32.3 32.3
PNS 74 22.6 23.2 55.5
Karyawan Swasta 36 11.0 11.3 66.8
TNI/Polri 3 .9 .9 67.7
Pedagang Besar/Pengusaha 4 1.2 1.3 69.0
Lainnya 99 30.2 31.0 100.0
Total 319 97.3 100.0
Missing System 9 2.7
Total 328 100.0

4. Profil Responden Berdasarkan Umur
Profil responden bila dilihat dari umur maka diperoleh data sebagai berikut: mereka yang berumur 40-49 tahun berjumlah 96 orang (29,3%), yang berumur 50 tahun keatas 85 orang (25,9%), yang berumur 30–39 tahun 83 orang ( 25,3%), yang berumur 20-29 tahun 51 orang (15,5 %) dan yang berumur 0-19 tahun 4 orang (1,2%), dan yang tidak menjawab 9 orang (2,7%). Dengan demikian sebagian besar responden berumur 40 tahun keatas (55,2%), dan sebagian lainnya berumur 0-39 tahun (42%). Umur 40 tahun, merupakan umur dimana seseorang mulai matang dalam berpikir dan bertindak. Karir seseorangpun biasanya mulai berkembang pada umur tersebut. Nabi Muhammad diangkat sebagai nabi tatkala ia berumur 40 tahun. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 6 dibawah ini.


Tabel 4
Responden Berdasarkan Umur
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 9 2.7 2.7 2.7
0-19 4 1.2 1.2 4.0
20-29 51 15.5 15.5 19.5
30-39 83 25.3 25.3 44.8
40-49 96 29.3 29.3 74.1
50+ 85 25.9 25.9 100.0
Total 328 100.0 100.0


5. Profil Responden Berdasarkan Lama Tinggal
Profil responden dilihat dari lamanya dia tinggal ditempatnya yang sekarang diperoleh data sebagai berikut: Mereka yang lama tinggal 25 tahun keatas sebanyak 107 orang (32,6%), yang lama tinggal 0-9 tahun 93 orang (28,4%), yang lama tinggal 10-14 tahun 41 orang (12,5%), yang lama tinggal 15-19 tahun 39 orang (11,9%), yang lama tinggal 20-14 tahun 32 orang (9,8%) dan yang tidak tahu 16 orang (4,9%). Dari data ini terlihat bahwa mereka yang lama tinggal 0-9 tahun cukup banyak yaitu 93 orang (28,4%), mereka ini diperkirakan adalah para pendatang yang datang dari luar Sulawesi Tengah. Para pendatang umumnya agar dapat berintegrasi dengan masyarakat setempat, cendrung menempatkan diri untuk mengikuti budaya setempat. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada tabel 7 dibawah ini.
Tabel 5
Responden Berdasarkan Lama Tinggal
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 16 4.9 4.9 4.9
0-9 93 28.4 28.4 33.2
10-14 41 12.5 12.5 45.7
15-19 39 11.9 11.9 57.6
20-24 32 9.8 9.8 67.4
25+ 107 32.6 32.6 100.0
Total 328 100.0 100.0



6. Profil Responden Berdasarkan Pendidikan
Profil responden bila dilihat dari tingkat pendidikan diperoleh data sebagai berikut: mereka yang lama pendidikannya 16 tahun keatas berjumlah 88 orang (26,8%), lama pendidikan 10-12 tahun 84 orang (25,6%), lama pendidikan 13-15 tahun 56 orang (17,1%), lama pendidikan 7-9 tahun 50 orang (15,2%), dan lama pendidikan 0-6 tahun 37 orang (11,3%) dan yang tidak menjawab 13 orang (4%). Data ini menunjukkan tingkat pendidikan responden tergolong tinggi, dimana 43,9 % berpendidikan diatas sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA), bahkan mereka yang berpendidikan S 1 mencapai 26,8%.

Tabel 6
Responden Berdasarkan Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 13 4.0 4.0 4.0
0-6 37 11.3 11.3 15.2
7-9 50 15.2 15.2 30.5
10-12 84 25.6 25.6 56.1
13-15 56 17.1 17.1 73.2
16+ 88 26.8 26.8 100.0
Total 328 100.0 100.0


7. Profil Responden Berdasarkan Jumlah Pengeluaran
Profil responden bila dilihat dari jumlah pengeluaran perbulan mayoritas responden terdiri dari mereka yang jumlah pengeluarannya dibawah satu juta 131 orang (41,1% ), yang pengeluarannya 1 juta- 1,5 juta sebanyak 78 orang (24,5%), yang pengeluarannya 1,5 juta – 2 juta sebanyak 46 orang (14,4%), yang pengeluaran 2 juta – 2,5 juta 31 orang (9,7%), dan yang pengeluarannya lebih dari 2,5 juta sebanyak 33 orang (10,3%). Berdasarkan data tersebut ternyata sebagian besar responden bila dilihat dari jumlah pengeluaran terdiri dari mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Dengah demikian ketergantungan mereka dengan pihak lain masih cukup tinggi. Dengan kondisi demikian mereka akan bersedia bekerjasama dengan siapa saja demi untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Untuk lebih detailnya lihat tabel 9.


Tabel 7
Responden Berdasarkan Jumlah Pengeluaran
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid dibawah1jt 131 39.9 41.1 41.1
1jt_1,5jt 78 23.8 24.5 65.5
1,5jt_2jt 46 14.0 14.4 79.9
2jt_2,5jt 31 9.5 9.7 89.7
Lebih2,5jt 33 10.1 10.3 100.0
Total 319 97.3 100.0
Missing System 9 2.7
Total 328 100.0

8. Profil Responden Berdasarkan Suku
Profil responden bila dilihat dari suku bangsa mayoritas responden berasal dari suku Jawa sebanyak 130 orang (40,8%), yang berasal dari suku yang dikelompokkan lain-lain (Tionghoa, Da’a, Dayak) sebanyak 110 orang (34,5%), yang berasal dari suku Sunda 33 orang (10,3%), yang berasal dari suku Batak sebanyak 27 orang (8,5%) dan yang berasal dari suku Melayu sebanyak 19 orang (6,0%). Data ini menunjukkan bahwa sebagia besar responden berasal dari suku jawa, dalam masyarakat jawa dikenal dengan budaya harmonis. Data ini juga menunjukkan bahwa suku Jawa telah tersebar di berbagai daerah penelitian. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 10.

Tabel 8
Responden Berdasarkan Suku
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Jawa 130 39.6 40.8 40.8
Sunda 33 10.1 10.3 51.1
Batak 27 8.2 8.5 59.6
Melayu 19 5.8 6.0 65.5
Lainnya 110 33.5 34.5 100.0
Total 319 97.3 100.0
Missing System 9 2.7
Total 328 100.0

9. Sikap Keberagamaan, Kepercayaan, dan Kerjasama Responden
Sikap keberagamaan yang dikaji dari aspek inklusivitas dan eksklusivitas responden di masing-masing provinsi menurut agama menunjukkan perbedaan rata-rata tingkat keberagamaan, seperti tampak pada tabel 3. Di setiap lokasi penelitian, ternyata responden yang beragama Islam memiliki rata-rata sikap keberagamaan yang relative rendah (2,78) dibandingkan dengan responden dari agama lainnya. Angka tersebut merupakan angka terendah dari skala pengukuran yang ditetapkan, yakni 1 – 5. Skala pengukuran itu menunjukkan bahwa semakin kecil rata-rata sikap keberagamaan, maka semakin eksklusive, sebaliknya semakin besar nilai rata-rata sikap keberagamaan maka semakin inklusive. Dengan demikian responden yang beragama Konghucu memiliki tingkat inklusivitas tertinggi dibandingkan dengan responden beragama lain.


Tabel 9 .
Sikap Keberagamaan Responden (Inklusif & Eksklusif)
No. Provinsi Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghucu Rata-2
1 Sulteng 2.89 3.55 4.36 3.57 3.95 - 3.66
2 Kalbar 2.70 3.59 3.67 3.87 3.86 3.54
3 Jateng 2.94 3.62 4.00 3.76 3.67 3.90 3.65
4 Jabar 2.60 3.53 3.30 3.62 3.25 3.87 3.36
5 Lampung 2.72 3.93 3.95 3.64 3.73 - 3.59
6 Sumut 2.83 3.53 3.51 3.95 3.45 3.86 3.52
Rata-2 2.78 3.63 3.80 3.71 3.65 3.87 3.55

Tingkat kepercayaan responden berdasarkan dimensi ekspektasi maupun hubungan sosial menurut agama di masing-masing provinsi, dapat dilihat pada tabel 12. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata tingkat kepercayaan, ternyata responden yang beragama Islam relatif rendah dibandingkan dengan responden beragama lainnya. Sementara, responden beragama Katolik memiliki rata-rata tingkat kepercayaan yang tinggi dibandingkan dengan agama lainnya. Lebih lanjut, terdapat data yang cukup menggembirakan bahwa di Sulteng yang diketahui relatif baru saja terguncang masalah konflik sosial, ternyata menunjukkan angka rata-rata tingkat kepercayaan yang tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya, meskipun secara umum rata-rata tingkat kepercayaan di seluruh provinsi lokasi penelitian memperlihatkan angka yang relatif tinggi (3,55) dari skala 1 – 5.
Tabel 10.
Tingkat Kepercayaan Responden
No. Provinsi Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghucu Rata-2
1 Sulteng 3.49 3.80 4.62 3.88 4.24 - 4.01
2 Kalbar 3.04 3.75 3.82 3.91 3.95 3.69
3 Jateng 3.27 4.08 4.24 4.06 4.29 3.82 3.96
4 Jabar 3.31 3.86 3.59 3.86 3.62 4.06 3.72
5 Lampung 3.35 4.19 4.15 3.97 3.61 - 3.85
6 Sumut 3.35 3.71 3.90 4.03 3.68 3.76 3.74
Rata-2 3.30 3.90 4.05 3.96 3.89 3.90 3.83
Adapun tingkat kerjasama responden di masing-masing provinsi menurut agama yang dipeluknya, menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di Sulteng relatif memiliki rata-rata tingkat kerja sama yang tinggi dibandingkan dengan responden di provinsi lainnya, dan yang terendah adalah di Jabar. Jika dilihat dari agama yang dipeluknya, maka rata-rata tingkat kerjasama yang paling tiinggi adalah responden beragama Hindu (3,58) , dan yang terendah adalah responden yang beragama Islam (2,39) yang diukur pada skala 1 – 5.



Tabel 11
Tingkat Kerjasama Responden
No. Provinsi Islam Kristen Katolik Hindu Budha Konghucu Rata-2
1 Sulteng 2.73 3.38 3.65 3.74 3.48 3.40
2 Kalbar 2.02 3.53 3.38 2.73 2.86 2.90
3 Jateng 2.28 2.73 3.12 3.78 2.41 2.96 2.88
4 Jabar 2.36 2.28 2.19 3.85 2.15 3.21 2.67
5 Lampung 2.31 3.44 3.11 2.63 2.46 2.79
6 Sumut 2.65 3.00 3.40 3.89 3.57 2.93 3.24
Rata-2 2.39 3.06 3.14 3.58 2.80 2.99 2.98

B. Pengujian Hipotesis.
1. Hubungan Karakteristik Individu dan Sikap Keberagamaan
Beberapa analisis statistik telah dilakukan untuk melihat adanya perbedaan pandangan antara laki-laki dan perempuan atau berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama domisili, dan umur terhadap kerjasama antarumat beragama diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan antara jenis kelamin pria dan wanita, mereka yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi dan rendah, antara yang lama berdomisili dengan mereka yang sebentar, dan antara mereka yang berumur muda dengan mereka yang berumur tua, terhadap kerjasama antarumat
Mengenai agama dikaitkan dengan tingkat inklusivitas, berdasarkan uji statistik One-Way ANOVA didapatkan p-value signifikan (0,000) < dari α 0,05, dengan demikian ada perbedaan tingkat inklusivitas antara agama tertentu dengan agama lainnya. Berdasarkan hasil Multiple Comparison ternyata agama Islam (1) sangat berbeda nyata tingkat inklusiitasnya dengan agama lain (*) atau agama non Islam tidak memiliki perbedaan nyata dalam hal tingkat inklusivitasnya. Uji homogenous Subset juga memperlihatkan bahwa sampel terbagi dalam dua subset yang artinya agama Islam memiliki tingkat inklusivitas yang berbeda dengan lima agama lainnya.
Ketika agama dikaitkan dengan tingkat eksklusivitas, berdasarkan uji ANOVA diperoleh p-value sifgnifikan (0,000) < dari α 0,05, hal ini berarti ada perbedaan tingkat eksklusivitas antara agama tertentu dengan agama lainnya. Berdasarkan hasil Multiple Comparison ternyata agama Islam (1) sangat berbeda nyata tingkat eksklusivitasnya dengan agama lain (*) atau agama non Islam tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam hal tingkat eksklusivitasnya, kecuali ada juga perbedaan yang sangat nyata antara Kristen (2) dan Budha (5). Uji homogenous Subset juga memperlihatkan bahwa sampel terbagi dalam dua subset yang artinya agama Islam memiliki tingkat eksklusivitas yang berbeda dengan lima agama lainnya.
2. Hubungan Karakteristik Individu dengan Trust
Melalui analisis statistik antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, umur, lama nya domisili dengan tingkat kepercayaan/trust, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tingkat pendidikan yang rendah dengan yang tinggi, mereka yang berumur tua dengan mereka yang berumur tua, dan antara mereka yang lama berdomisili dengan mereka yang berdomisili tidak terlalu lama bila dikaitkan dengan tingkat kepercayaan/trust.
Sedangkan melalui analisis Korelasi Pearson diperoleh hasil p-value 0,692 > dari α 0,05, dengan demikian tidak terdapat hubungan antara umur dengan tingkat kepercayaan, sementara nilai p (r Pearson) < 0,5 yang artinya korelasinya lemah. Nilai r adalah -0,22 yang berarti semakin tua umur seseorang semakin rendah tingkat kepercayaannya (notasi -).
Bila dilihat dari sisi lamanya seseorang menetap ditempat tinggalnya sekarang dikaitkan dengan tingkat kepercayaan, berdasarkan analisis independent t-tes (dua sampel) diperoleh hasil: p-value 0,233> dari α 0,05, hal ini berarti bahwa tidak terdapat perbedaan antara orang yang lama berdomisili dengan yang baru berdomisili dalam hal tingkat kepercayaan/trust, jadi lama domisili tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepercayaan/trust.
Bila dihubungkan antara lama pendidikan dengan tingkat kepercayaan, berdasarkan análisis statistik korelasi Pearson diperoleh hasil p-value=0,741> dari ά 0,05, sehingga dapat diartikan tidak ada korelasi antara lama pendidikan dengan tingkat kepercayaan
Bila dilihat dari aspek agama dikaitkan dengan tingkat kepercayaan, berdasarkan analisis statistik test homogenitasnya menunjukkan hasil p-value 0,377 > dari α 0,05 sehingga keenam populasi agama adalah identik dan dilanjutkan uji ANOVA yang juga didapatkan p-value signifikan (0,000) < dari α 0,05, sehingga terdapat perbedaan antara agama tertentu dengan agama lainnya dalam hal tingkat kepercayaan/trust. Berdasarkan hasil Multiple Comparison ternyata agama islam (1) sangat berbeda nyata tingkat kepercayaannya dibandingkan dengan agama lainnya (*) atau agama non Islam tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam hal tingkat kepercayaannya.
2. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kerjasama Antarumat Beragama
Hasil uji analisis statistik antara Karakteristik Individu dengan kerjasama diperoleh hasil sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Berdasarkan hasil analisis statistik independent t-tes (dua sampel) antara jenis kelamin dengan kerjasama antarumat beragama, diperoleh hasil p-value 0,052 > dari α 0,05, data ini menunjukkan bahwa jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan tidak mempunyai pengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama.
Mengenai umur bila dikaitkan dengan tingkat kepercayaan, berdasarkan analisis independent t-tes (dua sampel) diperoleh hasil: p-value 0,601 > dari α 0,05, dengan demikian umur baik yang tua ataupun muda tidak mempunyai pengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama.
Tingkat pendidikan apabila dikaitkan dengan tingkat kerjasama, berdasarkan análisis independent t-tes diperoleh hasil p-value=0,076> dari ά 0,05, hal ini berarti tidak ada perbedaan yang nyata mengenai tingkat kerjasama antara pendidikan menengah atas dengan pendidikan rendah.
Bila dilihat korelasi antara umur dengan kerjasama antarumat beragama, berdasarkan analisis Korelasi Pearson diperoleh hasil: p-value 0,146 > dari α 0,05, dengan demikian tidak ada hubungan antara umur dengan tingkat kerjasama antarumat beragama. Sementara nilai p (r Pearson) < 0,5 yang artinya korelasinya lemah.
Sementara itu bila dikaitkan antara lama domisili dengan tingkat kerjasama, berdasarkan analisis statistik independent t-tes (dua sampel) diperoleh hasil p-value 0,019 < dari α 0,05, hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kerjasama dinatara mereka yang lama berdomisili dengan mereka yang baru berdomisili. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama seseorang berdomisili disuatu tempat maka akan semkain tinggi tingkat kerjasamanya.
Bila tingkat pendidikan dihubungkan dengan tingkat kerjasama, berdasarkan uji statistik korelasi Pearson diperoleh hasil p-value=0,021 < dari ά 0,05, sehingga dapat diartikan ada korelasi antara lama pendidikan dengan sikap keberagamaan, nilai ρ (r Pearson) < 0,5 yang artinya korelasinya lemah. Nilai r adalah 0,130 yang berarti semakin tinggi tingkat pendidikan (lama pendidikan) semakin tinggi juga tingkat kerjasama agamanya.
Mengenai agama bila dikaitkan dengan tingkat kerjasama antarumat beragama, berdasarkan hasil uji ANOVA didapat p-value signifikan (0,000) < dari 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara agama tertentu dengan agama lainnya dalam hal tingkat kerjasama antarumat beragama. Berdasarkan multiple comparison ternayata agama islam (1) sangat berbeda nyata tingkat kerjasamanya dibanding agama lain (*). Sedangkan dari Uji Homogenous Subset memperlihatkan bahwa sampel terbagi dalam tiga subset yang artinya tidak ada perbedaan tingkat kerjasama antara pemeluk agama Islam (1) dan pemeluk agama Buddha (5), tetapi kedua agama tersebut berbeda nyata tingkat kerjasamanya dengan agama lain. Sementara penganut agama Kristen (2) dan Khonghucu (6) tidak berbeda nyata kerjasamanya, tetapi berbeda dengan empat pemeluk agama lainnya. Subset ketiga adalah antara pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Katolik ternyata tidak menunjukkan perbedaan tingkat kerjasama, tetapi berbeda nyata dengan empat agama lainnya.
Suku merupakan salah satu karakteristik individu dalam penelitian ini. Apabila suku dikaitkan dengan tingkat kerjasama antarumat beragama, berdasarkan Uji ANOVA diperoleh p-value signifikan (0,000) < dari α 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kerjasama antara suku tertentu dengan suku lainnya. Menurut hasil analisis Multiple Comparison dan juga homogenous test menunjukkan bahwa antara suku Jawa dan suku lainnya tidak ada perbedaan yang signifikan, tetapi memiliki perbedaan kerjasama dengan suku lainnya. Sementara suku Sunda dan Melayu tidak berbeda nyata dalam tingkat kerjasamanya, tetapi berbeda nyata dengan ketiga suku lainnya.
Dalam masyarakat terdapat jenis pekerjaan yang bermacam-macam, dimana masing-masing jenis pekerjaan tersebut mempunyai ciri-ciri tersendiri. Bila jenis pekerjaan dikaitkan dengan tingkat kerjasama, berdasarkan Uji ANOVA diperoleh p-value sebesar 0,279 > dari α 0,05. Dengan demikian ternyata tidak ada perbedaan tingkat kerjasama antara jenis pekerjaan yang satu dengan jenis pekerjaan lainnya. Jika dilihat dari homogenous test juga menunjukkan ada satu subset saja (artinya sampel dikelompokkan menjadi satu bagian saja).
3. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial ekonomi Terhadap Eksklusifitas
Eksklusifitas merupakan salah satu indikator yang digunakan dalam menganalisis sikap keberagamaan. Tingkat eksklusifitas itu sendiri, dipengaruhi beberapa faktor antara lain akses informasi dan keadaan sosial ekonomi masyarakat. Dengan analisis regresi berganda (multiple regretion) didapat output bahwa tingkat ases informasi dan keadaan sosial ekonomi tidak berpengaruh terhadap ekslusifitas. Jika dicermati dari output model regresi dibawah ini, tampak bahwa kalaupun ada pengaruh akses informasi dan keadaan sosial ekonomi terhadap eksklusifitas, ternyata ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat aksesibilitas seseorang terhadap informasi akan semakin rendah tingkat eksklusiftasnya. Hal ini ditunjuikkan dengan nilai koefisien beta terstandarisasi (Standardized Coefficients beta) adalah sebesar 0,055 dengan notasi negative, atau berbanding terbalik. Dengan demikian untuk mengurangi sikap eksklusifitas dalam masyarakat perlu upaya-upaya peningkatan akses informasi, antara lain seperti yang dikemukakan dalam teorinya Nan Lin (2000) bahwa ketidak seimbangan (inequality) dalam mengakses informasi menyebabkan antara lain sikap eksklusifitas yang bermuara kepada kurangnya akses terhadap sumber-sumber daya sosial ekonomi. Berbeda dengan keadaan sosial ekonomi, yang menunjukkan pengaruh linier, yakni semakin tinggi tingkat sosial ekonomi seseorang akan semakin tinggi juga tingkat eksklusifitasnya. Lihat tabel 11 dan 12.

Tabel 11
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,054(a) ,003 -,003 ,689767
a Predictors: (Constant), Tk_SOSEK, TK_AKSINF

Tabel 12
Coefficients (a)
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta B Std. Error
1 (Constant) 3,203 ,223 14,380 ,000
TK_AKSINF -,044 ,047 -,055 -,922 ,357
Tk_SOSIAL EKONOMIO ,026 ,045 ,034 ,572 ,568
a Dependent Variabel: TK_eksklusifitas


4. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial ekonomi Terhadap Inklusifitas
Melalui analisis regresi berganda (multiple regretion) antara variabel dependent akses informasi dan variabel sosial ekonomi diketahui bahwa keduanya tidak berpengaruh terhadap tingkat inklusiftas. Oleh karena itu, hubungan pengaruh dalam model hipotetik harus dihilangkan. Hampir serupa dengan hasil analisis di atas, ternyata tingkat penguasaaan informasi dan tingkat sosial ekonomi tidak mempengaruhi tingkat inklusifitas. Penguasaan informasi yang diukur dalam penelitian ini mencakup informasi yang tersaji melalui televisi, radio, serta media cetak lainnya. Informasi yang disajikan cenderung telah melalui proses seleksi ataupun kontrol dari lembaga terkait, baik lembaga formal maupun informal. Dengan demikian, tentunya pengaruh informasi dimaksud tidak akan signifikan. Kemungkinan akan berbeda jika perolehan informasi itu bersumber dari sumber tertentu yang lebih spesifik misalnya lembaga dakwah yang dilakukan oleh kelompok yang eksklusif.


Tabel 13
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,073(a) ,005 -,001 ,66889
a Predictors: (Constant), Tk_SOSEK, TK_AKSINF
Tabel 14
Coefficients (a)
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta B Std. Error
1 (Constant) 3,397 ,216 15,725 ,000
TK_AKSINF -,058 ,046 -,075 -1,253 ,211
Tk_SOSIAL EKONOMIO ,004 ,044 ,006 ,094 ,925
a Dependent Variabel: TK_Inklsusif


5. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial ekonomi Terhadap Trust Berdimensi Ekspektasi
Berdasarkan analisis hasil regresi terlihat bahwa kedua variabel independen yaitu tingkat sosial ekonomi dan akses informasi mampu menjelaskan tingkat kepercayaan yang berdimensi ekspektasi sebesar 2,70%. Adapun pengaruh masing-masing variabel menunjukkan bahwa tingkat aksesibilitas informasi tidak signifikan terhadap tingkat kepercayaan berdimensi ekspektasi. Sedangkan tingkat sosial ekonomi signifikan pengaruhnya terhadap tingkat kepercayaan berdimensi ekspektasi, dengan dominasi pengaruh sebesar 0,151 seperti yang tampak dari nilai koefesien beta terstandarisasi.
Temuan ini dapat dikaitkan dengan sikap rasionalitas masyarakat yang semakin berkembang. Motivasi individu menunjukkan kecenderungan bahwa pemupukan tingkat kepercayaan tentu sangat didasari oleh kepentingannya dalam memenuhi preferensinya. Oleh karena itu tingkat kepercayaan antar individu dalam masyarakat cenderung dipengaruhi ekspektasi atau harapannya. Fenomena ini selaras dengan pendapat Lawang (2005) yang mengemukakan bahwa tingkat sosial ekonomi berpengaruh terhadap ekspektasi seseorang kepada orang lain.
Mengingat tingkat sosial ekonomi juga diukur berdasarkan status sosial dan power, maka ekspektasi dalam memupuk tingkat kepercayaan akan tergantung pada kedudukan seseorang di dalam kelompok (group), komunitas, atau masyarakat. Demikian juga akan ada kecenderungan semakin kuat pengaruh seseorang dalam kelompok maka akan tinggi juga daya penanaman tingkat kepercayaan berdimensi ekspektasi.

Tabel 15
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,163(a) ,027 ,020 ,48467
a Predictors: (Constant), Tk_SOSEK, TK_AKSINF


Tabel 16
Coefficients (a)
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta B Std. Error
1 (Constant) 3,349 ,157 21,396 ,000
TK_AKSINF ,017 ,033 ,030 ,509 ,611
Tk_SOSIAL EKONOMIO ,081 ,032 ,151 2,561 ,011
a Dependent Variabel: Ekspektasi


6. Pengaruh Akses Informasi dan Status Sosial ekonomi Terhadap Trust Berdimensi Hubungan Sosial
Model regresi ini menunjukkan hasil bahwa variabel keadaan sosial ekonomi dan akes informasi hanya mampu menjelaskan tingkat hubungan sebesar 1,0% saja yakni sangat kecil. Dengan kata lain terdapat 99% variabel lain yang berpengaruh terhadap trust pada dimensi hubungan sosial selain dua variabel tingkat akses informasi dan keadaan sosial ekonomi. Hasil analisis regresi juga menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut tidak berpengaruh kepada tingkat kepercayaan berdimensi hubungan sosial. Temuan ini sesuai dengan pendapat Lawang (2005) dan Varshney (2002), yang mengemukakan bahwa tingkat kepercayaan berdimensi hubungan sosial lebih banyak tergantung pada aspek kekeluargaan, ketetanggaan, pertemanan dan kekerabatan. Artinya, tingkat akses informasi maupun tingkat sosial ekonomi dapat diabaikan dalam menjelaskan bagaimana memupuk ataupun menanamkan tingkat kepercayaan antar individu dalam masyarakat. Dengan kata lain aspek budaya masyarakat lebih menentukan tingkat kepercayaan dibandingkan aspek struktural.



Tabel 17
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,102(a) ,010 ,004 ,66631
a Predictors: (Constant), Tk_SOSEK, TK_AKSINF










Tabel 18
Coefficients (a)
Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients T Sig.
B Std. Error Beta B Std. Error
1 (Constant) 3,681 ,215 17,106 ,000
TK_AKSINF -,070 ,046 -,090 -1,523 ,129
Tk_SOSIAL EKONOMIO -,019 ,044 -,026 -,443 ,658
a Dependent Variabel: HUB_SOS

7. Pengaruh Akses Informasi, Status Sosial ekonomi, Sikap Keberagamaan, dan Trust Terhadap Kerjasama Antar Umat Beragama
Uji regresi model ini dimaksudkan untuk menganilisis pengaruh independetn variabel yakni keadaan sosial ekonomi, akses informasi, sikap keberagamaan, yang dilihat dari indikator inklusifitas dan eksklusifitas, tingkat kepercayaan (trust) dimensi hubungan sosial maupun kespektasi terhadap variabel dependent yakni tingkat kerjasama didapatkan hasil uji sebagai berikut.

Tabel 19
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 ,721(a) ,520 ,511 ,50713
a Predictors: (Constant), HUB_SOS, Tk_SOSEK, TK_AKSINF, Ekspektasi, TK_ekslkusifitas, TK_Inklsusif

Tabel 20
ANOVA (b)
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 86,894 6 14,482 56,311 ,000(a)
Residual 80,242 312 ,257
Total 167,136 318
a Predictors: (Constant), HUB_SOS, Tk_SOSEK, TK_AKSINF, Ekspektasi, TK_ekslkusifitas, TK_Inklsusif
b Dependent Variabel: TK_KS_AGM


8. Analisis Jalur (Path Analysis) Menganai Pengaruh Akses Informasi, Status Sosial ekonomi, Sikap Keberagamaan, dan Trust terhadap Kerjasama Antarumat Beragama
Berdasarkan model- model regresi di atas, maka hasil akhir dari analisis jalur (path analysis) adalah seperti berikut:



Gambar 3
Hasil Analisis Jalur (Path Analysis)



Dari gambar hasil analisis jalur di atas dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut. Inklusifitas memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat kerjasama umat beragama sebesar 0,223 secara sangat significan (garis tebal dan **). Dengan kata lain kerjasama antarumat beragama ditentukan oleh sikap keberagamaan yang berdimensi inklusif. Sementara sikap keberagamaan eksklusifitas tidak berpengaruh terhadap kerjasama antarumat beragama. Oleh karena itu, dalam model di atas, tidak terdapat garis pengaruh dari eksklusifitas kepada variabel lain.
Lebih lanjut, akses informasi juga hanya memiliki pengaruh yang langsung saja secara sangat significant terhadap kerjasama. Dominasi pengaruhnya sebesar 0,165, yang berarti lebih kecil jika dibandingkan dengan pengaruh inklusifitas, keadaan sosial ekonomi dan hubungan sosial. Adapun tingkat kepercayaan berdimensi hubungan sosial memiliki pengaruh terhadap kerjasama sebesar 0,306. Pada model ini, variabel tersebut memiliki pengaruh langsung terbesar dibanding dengan variabel lainnya.
Kemudian, tingkat kepercayaan berdimensi ekspektasi memiliki pengaruh langsung terhadap kerjasama yang paling kecil dibanding variabel lain, yakni sebesar 0,125. Variabel keadaan ekonomi menunjukkan pengaruh langsung secara sangat signifikan terhadap kerjasama sebesar 0,244; dan pengaruhnya terbesar setelah tingkat kepercayaan berdimensi hubungan sosial. Akan tetapi, variabel status social ekonomi ternyata merupakan satu-satunya variabel yang selain berpengaruh langsung juga berpengaruh tidak langsung melalui variabel tingkat kepercayaan berdimensi ekspektasi sebesar 0,151 x 0,125 = 0,019. Dengan demikian pengaruh total status sosial ekonomi terhadap tingkat kerjasama adalah 0,244 + 0,019 = 0,263.
Tampak bahwa satu-satunya variabel yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung adalah status social ekonomi. Untuk mengetahui pengaruh indikator status sosial ekonomi terhadap kerjasama umat beragama dapat dijelaskan dengan uji regresi indikator tingkat priviles, prestise (status), dan indikator power seperti berikut. Hasil di bawah ini menjelaskan bawa sampel sangat signifikan dan identik untuk uji regresi, sementara persamaan regresi yang dihasilkan relative baik dengan R2 sebesar 0,125 yang berarti ketiga indikator status sosial ekonomi dapat menjelaskan pengaruhnya terhadap kerjasama sebesar 12,5%, dan sisanya dijelaskan variabel lain. Sedangkan dari hasil regresi didapat bahwa tingkat status sosial (prestise) tidak berpengaruh terhadap KS, sementara power sangat siginifikan pengaruhnya (p-value=0,000 < 0,01) dengan dominasi pengaruh senilai 0,291. Pada sisi lain indikator privilis (lama pendidikan dan pengeluaran) juga berpengaruh signifikan (p-value=0,001) dan besarnya pengaruh adalah 0,177. Tingginya pengaruh status sosial ekonomi berdimensi power terhadap kerjasama antarumat beragama menunjukkan bahwa tingkat kekuasaan seseorang di masyarakat menentukan tingkat kerjasama. Pada tataran empiris ada kecenderungan bahwa power atau kepemimpinan, baik formal maupun informal, ternyata sangat mempengaruhi tingkat kerjasama.



V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Profil responden adalah mayorita laki-laki (68,7%), beragama Islam (57,1%), memiliki pekerjaan sebagai petani/buruh/nelayan dan PNS (55,5%), berumur 40 tahun ke atas (55,2%), lama berdomisili 15 tahun ke atas (44,5%), lama pendidikan 16 tahun ke atas dan 10-12 tahun (26,8 + 25,6 = 52,4%), jumlah pengeluaran dalam satu bulan di bawah satu juta(41,1%) dan berasal dari suku Jawa (40%).
2. Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, umur tua dan umur muda, dan lama pendidikan dalam hal sikap keberagamaan, tingkat kepercayaan dan kerjasama antarumat beragama.
3. Tidak ada perbedaan sikap keberagamaan dan tingkat kepercayaan antara lama dan tidaknya domisili, sedangkan terhadap kerjasama terdapat perbedaan antara mereka yang lama dan tidak lama berdomisili, semakin lama seseorang berdomisili maka akan semakin tinggi tingkat kerjasamanya.
4. Terdapat perbedaan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lainnya dalam hal sikap keberagamaan. Pemeluk agama Islam cenderung memiliki sikap lebih ekslusif dibanding pemeluk agama lainnya. Sedangkan pemeluk agama Khonghucu memiliki rata-rata tingkat inklusivitas tertinggi dibanding pemeluk agama lainnya.
5. Terdapat perbedaan antara pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama lainnya dalam hal tingkat kepercayaan. Pemeluk agama Islam memiliki tingkat kepercayaan yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan pemeluk agama lainnya. Sementara, pemeluk agama Katolik menunjukkan rata-rata tingkat kepercayaan tertinggi dibanding pemeluk agama lainnya.
6. Terdapat korelasi (hubungan) antara tingkat pendidikan dengan kerjasama antarumat beragama. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi tingkat kerjasamanya.
7. Mengenai tingkat kerjasama, pemeluk agama Hindu memiliki rata-rata tingkat kerjasama tertinggi dibanding pemeluk agama lainnya. Sedangkan pemeluk agama Islam memiliki rata-rata tingkat kerjasama yang terendah. Lebih lanjut, berdasarkan uji homogenous subset memperlihatkan bahwa sampel terbagi dalam tiga subset yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rata-rata tingkat kerjasama antara pemeluk agama Islam dan pemeluk agama Budha, antara pemeluk agama Kristen dan pemeluk agama Konghucu, dan antara pemeluk agama Katolik dan Hindu juga tidak menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan.
8. Berdasarkan uji regresi yang dilanjutkan dengan path analysis, dapat dikemukakan bahwa:
a. inklusifitas memiliki pengaruh langsung (22,3%) terhadap tingkat kerjasama umat beragama secara signifikan.
b. Akses informasi memiliki pengaruh langsung (16,5%) secara sangat signifikan terhadap kerjasama.
c. Tingkat kepercayaan yang berdimensi hubungan sosial memiliki pengaruh terhadap kerjasama (30,6%), ini merupakan pengaruh langsung terbesar dalam model analisis.
d. Tingkat kepercayaan berdimensi ekspetasi memiliki pengaruh langsung terhadap kerjasama (12,5%), ini merupakan pengaruh langsung terkecil dalam model analisis.
e. Status sosial ekonomi seseorang menunjukkan pengaruh langsung secara significan terhadap kerjasama (24,4%). Di samping itu, variabel ini berpengaruh secara tidak langsung terhadap kerjasama melalui trust berdimensi ekspektasi sebesar 12,5% sehingga total pengaruhnya adalah 26,3%.
Berdasarkan model-model regresi yang termasuk ke dalam model hipotetik antarvariabel penelitian, ternyata nilai R Square adalah 0,520. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-variabel yang diteliti dalam studi ini mampu menjelaskan keragaman pengaruh sebesar 52%. Dengan demikian terdapat 48% variabel lain yang mungkin berpengaruh terhadap kerjasama

B. Rekomendasi
1. Berdasarkan hasil analisis di atas, perlunya dilakukan peningkatan inklusifitas keberagamaan masyarakat, sebab diyakini dengan meningkatnya sikap inklusifitas masyarakat maka akan meningkat pula tingkat kerjasamanya. Oleh sebab itu diharapkan materi ajaran agama yang disampaikan kepada masyarakat merupakan ajaran agama yang bersifat inklusif atau memahami ajaran agama secara komprehensif.
2. Mengingat bahwa tingkat kepercayaan berdimensi hubungan sosial mempunyai pengaruh terbesar dalam hal kerjasama, maka pemerintah diharapkan menyediakan lebih banyak sarana dan prasarana sosial seperti tempat oleh raga, gedung kesenian, balai pertemuan yang memungkinkan masyarakat berbeda agama dapat bertemu, berinteraksi dan berdialog sehingga dapat meningkatkan hubungan sosial diantara mereka.
3. Mengingat faktor sosial ekonomi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kerjasama, maka meningkatnya ekonomi masyarakat sangat berpengaruh dalam meningkatkan kerjasama antarumat beragama. Pemerintah diharapkan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan dan bantuan modal kepada masyarakat yang tingkat ekonominya tergolong rendah.
4. Mengingat tingkat pendidikan mempunyai korelasi terhadap kerjasama antarumat beragama, maka di daerah-daerah yang masih rendah tingkat pendidikannya, perlu ditingkatkan tingkat pendidikannya dengan mendirikan sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) dan menyediakan tenaga gurunya.
5. Mengingat terdapat sekitar 48% variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kerjasama, maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mengungkap variabel lain seperti antara lain variabel budaya dan variabel politik.






DAFTAR KEPUSTAKAAN

Nurcholish Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Mediacita, Jakarta, 2000.
M.Yusuf Asri, Ketuhanan Yang Maha Esa Dalam Kehidupan Beragama dan Berbangsa di Indonesia, Departemen Agama RI, Jakarta, 2001.
Jajat Burhanudin, dkk, Sistim Siaga Dini (terhadap kerusuhan sosial), Badan Litbang Agama & PPIM-IAIN Jakarta, Jakarta, 2000.
Rosita, S, Noer, Kerusuhan Sosial, Masalah SARA, Hubungan, Struktur dan Jarak Sosial, dalam Mursyid Ali (editor) Konflik Sosial, Demokrasi dan Rekonsiliasi, Menurut Perspektif Agama-Agama, Badan Litbang Agama, Jakarta, 2000.
Kimbal Young, Social Cultures Processes, dalam Setangkai Bunga Sosiologi, Oleh Selo Sumarjan dan Sulaiman Sumardi, Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi UI, hal 206.
George Ritzer & Douglas J. Goodman, 2003. Sociological Theory.
Sumanto Al-Qurtuby, Mendesain Kembali Format Dialog Agama, Kompas, 8 September 2008.
Raimundo Panikkar, Dialog Intra Relegius, Yogyakarta, Kanisius, 1994, dalam Lucia Ratih Kusumadewi, Sikap dan Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta, Skripsi, FISIP UI, 1999.
Komarudin Hidayat,: “Ragam Beragama”, dalam Andito (ed)
Fu Xie, “Hubungan Antara Orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil: Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung”, Jakarta, Disertasi, Program Pascasarajana FISIP UI, Tidak diterbitkan, 2006.
Lucia Ratih Kusumadewi, “Sikap Toleransi Beragama di Kalangan Mahasiswa”: Studi di Tiga Perguruan Tinggi di Jakarta, Jakarta, Skripsi FISIP UI, 1999.
Direktorat Agama Dan Pendidikan Deputi Bidang SDM Dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ BAPPENAS, Kajian Peran Lembga Sosial Keagamaan Dalam Pengembangan Wawasan Multikulturalisme”, Jakarta, 18 Desember 2007.
Muhamad Hisyam, Budaya Kewargaan: Komunitas Islam Di Daerah Aman Konflik, LIPI Press, Jakarta, 2007
Vipriyanti, Studi Sosial Ekonomi Tentang Keterkaitan Antara Modal Sosial dan Pembangunan Wilayah: Disertasi Pascasarjana IPB.Bogor, 2007.
WWW.WAHIDINSTITUE.ORG