Sabtu, 11 April 2009

KELOMPOK DAKWAH SALAFI VERSUS NON SALAFI
DI KECAMATAN LEMBAR KABUPATEN LOMBOK BARAT
PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Oleh:
H.Nuhrison M.Nuh


PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Agama besar yang berkembang di Indonesia telah mengalami dinamika yang cukup fenomenal, baik dalam aspek ideologi, ritual, intelektual, eksperensial maupun dalam gerakan sosialnya. Perkembangan tersebut disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu diantaranya adalah adanya perbedaan penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama, paradigma pemikiran yang dipergunakan dalam menafsirkan, penekanan pengamalan agama secara ekslusif yang hanya mengakui faham mereka saja yang benar, sedangkan faham lainnya dianggap kafir dan sesat. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pemikiran dari luar seperti pemikiran yang dianggap liberal atau literal dalam mamahami teks-teks agama, maupun cara merespon terhadap realitas kehidupan yang berkembang dewasa ini.
Di Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat, belum lama ini muncul kelompok Salafi yang berkembang pesat. Kehadiran kelompok ini mendapat respon negatif karena dianggap mempunyai faham yang sesat. Masyarakat yang tidak dapat menrima kehadiran kelompok Salafi itu kemudian melakukan tindakan anarkis. Masjid dan Pondok Pesantrennya dirusak. Mereka diperingatkan akan diusir dari kampung halamannya jika tetap mengajarkan paham tersebut. Harian Kompas tanggal 18 Juni 2006 menurunkan berita dengan judul “2 Jama’ah Salafi Minta Perlindungan”. Mereka meminta perlindungan kepada aparat Kepolisian Resort Lombok Barat, NTB, karena warga menolak acara pengajian yang diadakan oleh Jama’ah Salafi di Dusun Beroro Desa Jembatan Kembar Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat.” Harian Koran Tempo tanggal 6 April 2006 melaporkan ratusan warga kembali merusak fasilitas Pondok Pesantren Ihya’-as-sunnah di lingkungan Dusun Repok Gapuk, Desa Sekotong Tengah, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Alasannya pesantren ini dianggap meresahkan warga, karena membawa ajaran Salafiyah yang bertentangan dengan ajaran Islam.”
Kasus tersebut di atas mendorong Puslitbang Kehidupan Keagamaan melakukan penelitian untuk mengetahui lebih mendalam bagaimana persisnya konflik yang terjadi antara kelompok Jamaah Salafi dan Non Salafi di Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Masalah Penelitian
Sejalan dengan latar belakang di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:
1.Apa yang melatarbelakangi lahirnya kelompok Salafi di Lombok Barat;
2.Siapa tokoh pendiri dan bagaimana riwayat hidupnya;
3.Bagaimana kronologi munculnya konflik dan penanganannya;
4.Apa faham atau ajaran keagamaan yang dikembangkan;
5.Bagaimana respon pemerintah, pemuka agama dan masyarakat terhadap eksistensi faham/aliran Salafi di Lombok Barat.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali berbagai informasi yang berkaitan dengan kelompok Salafi di Lombok Barat Nusa Tenggara Barat untuk menjawab permasalah penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa rekomendasi kepada pimpinan Departemen Agama dalam rangka membina kehidupan beragama masyarakat di masa mendatang.
Kerangka Teori
Menurut Imam Tholkhah dan Abdul Azis, asal usul munculnya gerakan keagamaan, setidaknya bersumber dari empat faktor laten.
Pertama, pandangan tentang pemurnian agama yang tidak hanya terbatas kepada praktek keagamaan, melainkan juga pemurnian atas sumber agama itu sendiri, yakni penolakan atas sumber selain Al Qur’an. Kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream yang berkaitan dengan kebebasan setiap muslim untuk menjadi pemimpin bagi dirinya dalam memahami ajaran Islam dan tidak terikat kepada taklid buta dalam bentuk apapun. Ketiga pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang diidealisasikan, seperti kepemimpinan tunggal di bawah seorang Amir, atau sistem ummah wahidah (satu ummat). Keempat, sikap terhadap pengaruh Barat seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain. Dalam hal ini Islam ditempatkan sebagai alternatif yang mengungguli ideologi tersebut1.
Ahmad Amin mengajukan perspektif yang berbeda dengan pendapat yang dikemuakakan di atas. Menurut Ahmad Amin, timbulnya aliran-aliran dalam Islam disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan faktor eksternal. Faktor internal diantaranya:
1.Al Qur’an selain mengandung seruan ke-Esa-an Allah (Tauhid) dan Nubuwat, juga mengandung perdebatan terhadap berbagai kepercayaan dan agama yang telah ada.
2.Perkembangan polfa berfikir para tokoh agama yang cenderung ke arah filsafat, mempertanyakan berbagai hal ihwal keagamaan yang mereka anut secara kritis. Keyakinan agama yang samar-samar digali tafsirnya.
3.Setelah Nabi wafat, timbul perbedaan pandangan politik mengenai khilafah dengan warna agama, sehingga mengambil bentuk perbedaan aliran.
Adapun sebab eksternal yang mendorong timbulnya aliran-aliran keagamaan antara lain:
1. Pemeluk Islam baru membawa tradisi lama mereka ke dalam kehidupan beragama.
2. Aliran-aliran dalam Islam yang dipelopori oleh Mu’tazilah, berusaha mengembangkan ajaran dengan kritis, dialog dan debat. Akibatnya mengundang aliran-aliran lain untuk melakukan hal yang sama dan membakukan ajaran masing-masing.2
Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affinities. Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan sesuatu budaya, struktur sosial, atau kelompok sosial atau kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula hubungan elective affinity antara agama dengan daerah tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik, hubungan itu dapat dipisahkan sehingga peran–peran seseorang dalam masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai pemeluk agama tertentu atau sebagai anggota etnik tertentu atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu atau sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan bahkan terkadang mudah sekali terkacaukan. Sebagai akibatnya maka interaksi, konflik atau consensus dari berbagai pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat mempengaruhi interaksi, konflik atau konsensus antara komunitas-komunitas keagamaan yang ada.3
E. Metodologi
1. Bentuk studi
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksploratif/kualitatif dalam bentuk studi kasus. Peneliti merupakan instrument utama yang bergantung pada kemampuannya dalam menjalin hubungan baik dengan subjek yang diteliti. Interaksi antara peneliti dengan yang diteliti diusahakan berlangsung secara alamiah, tidak menonjol, tidak dipaksakan.4 Dalam memahami data yang ditemui di lapangan, peneliti lebih bertumpu pada pendekatan fenomenologis yang berusaha memahami subjek dari sudut pandang mereka sendiri, memaknai berbagai fenomena sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku.5
2. Teknik pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi yaitu kajian pustaka, wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data lapangan. Kajian pustaka ditekankan pada usaha mengenal kasus yang hendak diteliti dan merumuskan permasalahan penelitian serta menentukan fokus penelitian. Sedangkan kajian pustaka dilakukan setelah penelitian adalah untuk menganalisis dokumen-dokumen yang dimiliki oleh pimpinan dan anggota kelompok faham tersebut pada temuan lapangan. Wawancara dilakukan dengan para tokoh dan para pengikutnya, pemuka agama setempat, tokoh masyarakat, masyarakat sekitar, Kepala Desa/Lurah, KUA, Camat dan Kepala Kandepag. Pengamatan dilakukan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari faham/aliran Salafi dan interaksi antara pengikut dan bukan pengikutnya.




GAMBARAN UMUM KABUPATEN LOMBOK BARAT
A. Geografi dan Demografi
Kabupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Luas wilayahnya adalah 1.672,15 km2.. Sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dan sebelah selatan dengan terdapat Samudra Indonesia, sebelah barat Selat Lombok dan Kota Mataram dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Secara administratif Kabupaten Lombok Barat terdiri dari 15 kecamatan dengan 121 desa/kelurahan dan 937 dusun. Jumlah penduduk pada tahun 2005 tercatat sebanyak 743.484 jiwa dengan 223.527 KK, yang terdiri 359.506 (48%) laki-laki dan 383.978 (52%) perempuan. Penyebaran penduduk hampir merata di seluruh kecamatan. Penduduk bertempat tinggal seluruh pelosok hingga pingiran hutan dan pantai. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Narmada dan Gunungsari, sedangkan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Pemenang.
Keadaan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial
Lingkungan sosial yang berkaitan dengan dunia pendidikan bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, budi pekerti, ketrampilan dan semangat kebangsaan, sehingga dapat melahirkan sumberdaya manusia yang mampu membangun diri dan bangsanya. Sarana pendidikan baik negeri maupun swasta yang ada di Kabupaten Lombok Barat adalah: TK 93 buah, SD 450 buah, SLB 2 buah, SLTP 47 buah, SMA 24 buah, dan SMK 9 buah. (Lombok Barat Dalam Angka 2005). Mata pencaharian penduduk adalah di sektor pertanian, perkebunan/kehutanan, dan sub-sektor perikanan/kelautan. Sebagian kecil di bidang jasa, kerajinan dan pertambangan. Kehidupan perekonomian masyarakat Kabupaten Lombok Barat tergolong pra-sejahtera. Pelabuhan penyeberangan ke Pulau Bali berada di Kecamatan Lembar dirasakan dapat menopang perekonomian di sektor perikanan/kelautan dan jasa.
Masyarakat Lombok Barat merupakan penduduk pribumi keturunan asli dengan budaya Sasak. Mayoritas penduduk beragama Islam mejadikan ikatan dan interaksi sosial mereka sangat kental, dan menjadi unsur pemersatu dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari, sehingga potensi tersebut dirasakan sangat menguntungkan untuk merajut kehidupan sosial dan menjaga kerukunan umat.
Kehidupan Keagamaan
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (Kabupaten Lombok Barat Dalam Angka 2005) jumlah penduduk menurut pemeluk agama adalah sebagai berikut :
Agama
Pemeluk
Prosentase
Rumah Ibadah
Jumlah
Islam
679.206
92 %
Masjid
834



Mushola
510
Kristen
306
0,04 %
Gereja
-
Katholik
59
0,00 8%


Hindu
50.260
6,8 %
Pura
124
Budha
8.626
1,17 %
Vihara
25
Dari gambaran di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Lombok Barat beragama Islam. Sampai saat ini umat Kristen dan Katholik di Kabupaten Lombok Barat belum memiliki sarana tempat ibadah sehingga mereka pergi ke Kota Mataram untuk melaksanakan ritual keagamaan.
Nilai-nilai agama dan norma sosial adalah satu kesatuan yang kuat, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan beragama di masyarakat. Latar belakang suku Sasak sangat kental dengan budaya dan adat yang menjadikan kondisi kehidupan yang harmonis dan kehidupan spiritualnya diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Di Kabupaten Lombok Barat banyak dijumpai tokoh agama sekaligus tokoh adat. Jika dia pernah mukim di Arab selama 9 tahun akan mendapat predikat Tuan Guru Haji (TGH). Aktivitas keagamaan seperti ceramah agama, pondok pesantren, pengajian, tahlil dan yasinan, dan berbagai acara selamatan (maulidan, Isra’ Mi’raj dan ruwahan) dilaksanakan secara besar-besaran.


SEJARAH MNCULNYA FAHAM SALAFI

A.Sejarah dan Ajaran Salafi.6
Dalam ensiklopedi Islam dan Ensiklopedi Tematis Dunia Islam di jelaskan bahwa gerakan pemikiran Islam salafiyah adalah gerakan pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang telah diamalkan oleh para salaf (terdahulu). Tujuan dari gerakan pemikiran Islam salafiyah adalah agar umat Islam kembali kepada dua sumber utama pemikiran Islam, yakni kitab suci al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berlandaskan pada dua sumber ajarann tersebut. Selain itu gerakan pemikiran salafiyah bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam agar tidak bercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lama yang menyesatkan dan terbebas dari ajaran tasawuf yang mengkultuskan para ulama, termasuk kegiatan-kegiatan memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu.7
Gerakan Salafiyah pada awalnya biasa disebut dengan gerakan tajdid (pembaharuan), islah (perbaikan), dan gerakan reformasi. Diantara doktrin awal dari gerakan pemikiran salafiyah ini adalah pandangan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa, meskipun tetap perlu berhati-hati dalam berfatwa. Gerakan ini mengharamkan taklid buta dan menyerukan agar perdebatan teologis dihindarkan. Aliran ini mengkritik penggunaan logika dalam memahami teologi Islam dan menawarkan metodologi yang digunakan oleh ulama salaf , para sahabat dan tabi’in. Konsekuensinya, aliran ini mengembangkan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang cendrung harfiah, tekstual. Pada abad ke 12 Hijrah, pemikiran salafiyah ini dikukuhkan dan dikembangkan oleh gerakan Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad Abdul Wahab (1703-1787). Tujuan dari gerakan Wahabi ini ingin memurnikan ajaran Islam, mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, sebagaimana yang diamalkan oleh generasi awal Islam.8
Kemunculan aliran salafiyah di tangan Abdul Wahab ini mewarisi kecendrungan orang-orang sebelumnya dalam memahami teks-teks syari’at secara harfiah, mengenyampingkan kajian dengan beragam tujuan, makna, serta sebab-musabab yang melatarbelakangi hukum-hukum tersebut. Ini berbeda dengan dua imam aliran mereka: Syekh Ibn Taimiyah maupun Ibn al-Qoyyim.
Oleh karena itu, meskipun disangkal oleh kalangan Salafi, menurut About El-Fadl, Gerakan Salafi dan Gerakan Wahabi merupakan gerakan yang sama.9 Abdul Wahab berusaha membersihkan Islam dari kerusakan yang dipercayainya telah merasuk dalam agama. Dia menerapkan literalisme yang ketat yang menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang syah dan menampilkan permusuhan eksterem kepada intelektualisme. mistisisme, dan semua perbedan faham yang ada dalam Islam. Menurut doktrin Wahabi,sangat penting kembali pada kemurnian, kesederhanaan, dan kelurusan Islam yang dapat sepenuhnya diperoleh kembali pada penerapan perintah Nabi secara harfiah dan dengan ketaatan penuh terhadap praktik ritual yang benar. Patut dicatat, bahwa Wahabisme menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara histories dan konstekstual dengan kemungkinan adanya penafsiran ulang ketika kondisi berubah. Wahabisme menganggap sebagian besar sejarah umat Islam merupakan perusakan terhadap Islam yang benar dan autentik. Selain itu Wahabisme mendefenisikan ortodoksi secara sempit dan sangat tidak toleran terhadap semua kepercayaan yang bertentangan dengan kepercayaannya.10
Ironisnya, sebagai sebuah gerakan, Salafisme justru didirikan pada awal abad ke -20 oleh Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida sebagai teologi yang berorientasi liberal. Untuk merespon tuntutan modernitas, kata mereka, kaum muslim perlu kembali pada sumber murni ajaran Islam al-Qur’an dan Sunnah (tradisi Nabi) dan mengaitkan diri dengan penafsiran teks. Motor utama gerakan Salafiyah, Muhamad Rasyid Rida (pendiri majalah Al_manar, penulis tafsir Al-Manar, serta berbagai buku reformis lainnya) banyak terwarnai oleh gurunya Muhammad Abduh yang sangat terbuka terhadap gagasan Barat. Hal ini membuat Rasyid Rida tidak terlalu dilirik oleh kaum Salafiyun Modern. Mereka tidak memanfaatkan aliran pembaruan Rasyid Rida, sebagaimana mestinya. Pada hal, ia adalah pimpinan sejati dari aliran Salafiyah yang tercerahkan.11
Pada awal 1970an Wahabisme telah berhasil mengubah Salafisme dari teologi berorientasi modernis liberal, menjadi teologi literalis, puritan, dan konservatif. Harga minyak yang menaik tajam pada 1975, menjadikan Arab Saudi penganjur utama Wahabisme, dapat menyebarkan doktrin wahabisme dengan wajahh Salafisme, yang dimaksudkan untuk kembali pada dasar-dasar outentik agama yang belum rusak oleh berbagai tambahan praktik sejarah.12

B. Gerakan Salafi Di Indonesia
Di Indoensia ide-ide gerakan pemikiran Salafiyah sudah berkembang di Indonesia sejak era Kolonial Belanda. Salah satu gerakan pemikiran salafiyah awal di Indonesia adalah di Minagkabau. Gerakan ini dipelopori oleh Tuanku Nantuo, orang Paderi dari Koto Tuo Ampek Angkek Candung (1784-1803), yang dalam perjalanannya melahirkan perang Paderi. Sumber kepustakaan menjelaskan bahwa gerekan Paderi ini dipengaruhi oleh gerakan keagamaan Wahabi (1703-1792) yang waktu itu memang cukup berpengaruh terhadap para haji yang belajar di Makkah.13
Gerakan pemikiran Salafiyah di Indonesia mengalami perkembangan seirama dengan munculnya tokoh-tokoh gerekan pemikiran Salafiyah di Timur Tengah seperti Syeikh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh ( 1849-1905), dan Rasyid Rida (1865-1935) yang melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam di Mesir. Para tokoh pembaharuan di Mesir ini, disamping mengajak umat Islam “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW”, juga mengajak umat islam agar meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk menjacapaiu kemajuan, menghilangkan kebodohan dan mengatasi keterbelakangan. Orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji di Makkah kemudioan bermukim untuk belajar agama Islam pada masa itu, setelah pulang secara iondividu atau melalui organisasi melakukan gerakan pembaharuan Islam mengikuti aliran Salafiyah.14
Maka di Indonesia kemudian muncul organisasi-organisasi yang bercorak Salafiyah Modern seperti: Muhammadiyah (1912), Sarikat Islam (1912), Al-Irsyad (1914), Jong Islmiten Bond (1925-1942), Persatuan Islam (1923) dan Partai Islam Indonesia (1938).Upaya-upaya yang dilakukan oleh para tokoh gerakan keagamaan tersebut adalah mengajak umat islam meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang bernuansa bid’ah, khurafat, taklid dan mendorong mereka melakukan ijtihad.15
Kehadiran gerakan pemikiran Salafiyah bukan tidak menimbulkan pertentanagan. Di mana-mana, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, gerakan pemikiran salafiyah akan berbenturan dengan kelompok Islam tradisonalis. Di Minagkabau, gerakan pemikiran Salafiyah telah melahirkan pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda. Kaum Tua mempertahankan pemahaman agama sesuai dengan tradisi yang sudah berjalan, sedangkan Kaum Muda terus mengembangkan pembaharuan pemikiran. Penganut Muhammadiyah dan Persis yang terus menerus melakukan gerakan pembaharuan pemikiran Islam mendapat tantangan dari umat Islam tradisionalis.


KASUS KONFLIKK ANTARA KELOMPOK SALAFI
DAN NON SALAFI
Menurut Imdadun Rahmat persentuhan awal para aktivis Gerakan salafi di Indonesia dengan pemikira salafiisme terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran Basa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga yang kemudian berganti nama menjadi LIPIA ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran para ulama Salafi. LIPIA adalah cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh. Pada awal tahun 1980 Imam Muhammad bin Saud University di Riyadh memutuskan membuka cabang ketiga di Indonesia. Pembukaan cabang baru di Indonesia ini terkait dengan gerakan penyebaran ajaran Wahabi yang berwajah Salafi ke seluruh dunia Islam. Lembaga LIPIA telah menghasilkan ribuan alumni, yang umumnya berorientasi Wahabi Salafi dengan berbagai variannya. Sebagainmenjadi aktivis Partai Keadilan dan sebagian lain menjadi penganjur Dakwah Salafi.
Penyebaran Dakwah Salafi rupanya juga sampai di Lombok Barat, dimana di daerah ini terdapat banyak pondok pesantren. Tokoh Dakwah Salafi di daerah ini adalah Ahmad Khumaidi dan Mukti Ali. Ahmad Khumaidi pernah mondok di pondok pesantren Islahudin selama 9 tahun dari tahun 1974 – 1975. Selesai pendidikan ia mengajar disebuah madrasah di Kecamatan Kediri Lombok Barat. Pada tahun 1978 ia mengerjakan umrah. Setelah mengerjakan umrah ia tidak kembali ke Indonesia tapi mukim di Makkah selama 8 tahun dari tahun 1978 – 1986. Dari tahun 1986 sampai dengan 2004 di mengajar di Mushalla Nurul Yakin (Tarbiyah), sebuah mushalla milik seorang tuan guru di desa Glogor. Kemudian pada tahun 2004 ia berangkat ke Jakarta untuk belajar di LIPIA Jakarta.
Sepulangnya dari Jakarta pada tahun 2005 dia mulai membina masyarakat setempat dengan mengajarkan faham Salafi. Dalam dakwahnya dia banyak menyalahkan faham yang telah dianut oleh mayoritas masyarakat setempat. Diantaranya shalat tarawih hanya 8 rakaat bukan 20 rakaat, tidak melakukan zikir jahar dengan suara yang keras-keras, dilarang melakukan perayaan Maulid secara besar- besaran karena dianggap pemborosan dan mengakibatkan kemisikinan dalam masyarakat. Upacara nelung, mituh, nyiwah, yang diadakan untuk orang yang meninggal dunia, memakan makanan yang disediakan haram hukumnya. Mengirim bacaan zikir dan tahlil kepada orang yang meniggal dunia pahalanya tidak sampai kepada yang meninggal, karena alamtnya tidak jelas.
Menurut Ustadz Khumaidi yang dimaksud dengan zikir itu adalah membaca al-Qur’an, dan nasehat agama. Membaca zikir cukup sirron saja, dengan membaca “La ilaha illa Allah”, kalau zikir jahar kadang-kadang katanya tidak teratur, seperti yang dilakukan oleh kelompok tarekat. Menurutnya zikir dan do’a dilakukan secara perorangan, sebab maksud setiap orang itu berbeda-beda, kalau untuk kepentingan umu, maka do’a boleh dilakukan secara bersama-sama. Sedangkan perayaan “Maulid” itu merupakan mengadakan yang baru, yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat, dan itu merupakan bid’ah. Kita harus mencontoh Nabi, dengan demikian agama menjadi murni tanpa bid’ah.
Ustadz Khumaidi membentuk majelis taklim yang diberi nama “As-Sunnah” pada sebuah mushalla yang merupakan peninggalan ayahnya, yang juga merupakan seorang tokoh agama di desa tersebut. Menurut keterangannya pengiklutnya sekarang ini berjumlah 270 orang, terdiri dari 137 orang laki-laki dan 1323 orang perempuan. Ciri khas dari kelompok ini antara lain berpakaian berwarna putih, kupiah putih, baju panjang, dan memelihara jenggot. Sumber hokum yangh diajdikan rujukan adalah al-Qur’an, As=sunnah dan ijma ulama. Kitab yang dibaca antara lain Riyadush-Sholihin, Bulughul Magham dan kitab-kitab aqidah. Ulama salafi antara lain Syafi’I, Abu Hanifah dan Ibn Taimiyah. Menurut Khumnaidi hokum yang dipakai oleh ulama tersebut adalah sunnah, itu yang disebut dengan salafi.
Dakwah yang disampaikan ustadz Khumaidi berhasil menarik minat masyarakat, sehingga pengikutnya terus bertambah, dan menyebar kebeberapa daerah, seperti di Kecamatan Lembar dan Kecamatan Sekotong. Hal ini nampknya menimbulkan kerisauan dikalangan Tuan Guru tertentu, maklum pengikut merupakan asset bagi tuan guru baik ditinjau dari segi poltik dan ekonomi. Untuk itu muncul berbagai konflik berupa pelarangan melakukan kegiatan sampai perusakan terhadap pondok pesantren.
Konflik mula-mula terjadi berupa pelarangan terhadap ustadz Khumaidi berkhutbah di masjid desa Glogor dan kegiatan pengajian yang diadakan dirumahnya. Kemudian konflik menyebar ke sekotong berupa perusakan pondok pesantren, pelarangan shalat jum’at di masjid milik kelompok salafi di Kecamatan Lembaran, dan pembubaran pengajian di dusun Broro Desa Jembatan Kembar.
Pada kesempatan ini akan digambarkan konflik yang terjadi di dusun Kebun Talo Desa Labuan Tereng Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat. Terjadi peruisakan terhadap mushalla milik kelompok Salafi karena dakwahnya dianggap menyinggung kelompok lainnya. Untuk memecahkan masalah tersebut. Diadakan pertemuan di Kantor KUA Kecamatan Lembar. Pertemuan diadakan pada tanggal 28 Juli 2005, dihadiri oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat Kebon Talo Desa Labuan Tereng yang terdiri dari TGH Badrun, Ustadz Munawar, Abdul Hafidz, H.Taufik Azhari (Kades) dan Abdul Karim (ketua Remas). Untuk mengatasi konflik tersebut diambil kesepakatan: Pengajian yang ada di lapisan bawah yaitu Mushalla Fahriah Amin Mertak, Mushalla Darussalam Langitan, di Ponpes AAl-Hamid di RT Tibu Timuk tetap berjalan dan dilanjutkan dengan materi yang telah ada yang dipimpin oleh TGH/Ustadz yang ada dari dalam. SEdangkan TGH/Ustadz yang berasal dari luar di istirahatkan. Membentuk Pembina-pembina pada masing-masing pengajian. Diadakan pengajian induk di Masjid yang di hadiri semua jama’ah Kebon Talo yang materi dan gurunya ditentukan dengan musyawarah.
Akibat konflik diatas, pada tanggal 19 Agustus 2005 kelompok Salafi di Dusun Kebon Talo m,endirikan shalat jum’at yang dihadiri oleh 55 orang bertempat di Mushllah Fahriah Amin. Pelaksanaan shalat Jum’at tersebu dilakukan karena kelompok Salafi/Wahabi merasa kescewa terhadap masyarakat Kebon Talo yang tiadk dapat menerima kehadiran mereka. Kegiatan tersebut menimbulkan protes dari masyarakat dan meminta Camat untuk memberikan keputusan apakah kegiatan tersebut di izinkan atau tidak. Untuk memecahkan kasus tersebut diadakan musyawarah yang hasilnya sebagai berikut: Ketua MUI, Kepala Kandepag Lobar dan Camat dan aparat lainnya akan turun kelapangan, untuk mengecek kondisi dan sistuasi sebagai bahan memberikan pertimbangan dan rekomendasi kepada Bupati Lombok Barat. Kegiatan shalat Jum’at dihentikan. Shalat Jum’at dapat dilaksanakan setelah ada pertimbangan dari Kepala Desa, Kecamatan, MUI dan kandepag Kab.Lobar danmendapat izin dari Bupati.
Pada tanggal 23 Agustus 2005 Ustadz Munawar Khalil selaku pengurus Mushallah Fahriah Amin, mengirim surat kepada Bupati agar dapat memberikan izin mendirikan shalat Jum’at dengan alas an: jama’ah telah memenuhi syarat secara syar’y dan kondisi Kamtibmas tetap dalam keadaan stabil dan terjamin.
Menyikapi keinginan kelompok Salafi untuk mendirikan shalat jum’at, maka pengurus BPD Desa Kebon Talo mengadakajn musyawarah; dalam musyawarah tersebut didengar alasan masing-masing pihak. Bagi yang menolak pendiriaan shalat Jum’at dengan alas an agar masyarakat tidak terpecah belah; dikhawatirkan akan terjadi gesekan-gesekan diantara kedua belah pihak; tidak menutup kemungkinan masyarakat Dusun Kebon Talo yang lain akanmeminta mendirikan Jum’atan ditempat yang lain; terlalu dekat jarak masjid induk dengan mushalla Fahriah Amin. Sedangkan alas an yang maumneidirkan Jum’atan: Merasa dilecehkan oleh sebab itu menanggung beban psikologis yang sangat berat, tidak nyaman berjum’atan di masjid induk; adanya jaminan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 dan 3.
Melalui suart tanggal 5 September 2005 Camat Lembar mengirim surat kepada Abdul Fatah, agar menghentikan pelaksanaan shalat jum’at sebelum mendapatkan izin dari Buapti Lombok Barat. Selanjutnya pada tangal 21 September 2005 Camat Lembar mengirim laporan kepada Bupati Lobar yang isinya antara lain:
Mendukung alasan-alasan yang dikemukakan oleh sebagian masyarakat Kebon Talo, selain itu jaraka Masjid Baitul Amin Dusun Kebon Talo masih dapat menampung jama’ah dan masyarakat berdomisilinya terpencar, dikhawatirkan terjadi benturan/gesekan pada saat melaksanakan ibadah maupun kegiatan-kegoatan lainnya. Meminta kepada jama’ah mushalla Fahriah Am,in tidak melaksanakan shalat jum’at sebelum mendapat izin dari Bupati. Dan meminta Bupati untuk secepatnya membuat keputusan.
Secara diam-diam kelompok ini masih melakukan kegiatannya, karena lambatnya pemerintah memberikan keputusan. Terlihat riak-riak kecil dalam masyarakat. Untuk itu pada tranggal 6 Januari 2006 KUA Kecamatan Lembar mengingatkan Jama’ah Pengajian Mushallah Fahriah Amin agar berpegang teguh pada hasil musyawarah tanggal 28 Juli 2005.
Pada tanggal 22 April 2006 jam 22.30 WITA terjadi pengrusakan/pembobolan tembok mushalla Jama’ah Fahriah Amin. Untuk mengatasi peristiwa tersebut dilakukan rapat Muspika, Kepala Desa dan Ketua/anggota BPD Desa Labuan Tereng dengan keputusan: memecat kadus Kebon Talo dan Ketua BPD karena merupakan penmgurus mushalla Fahriah Amin. Kemudian pada tanggal 29 April 206 Camat bersama anggota Muspika Kec Lembar mengadakan pertemuan dengan Kades Labuan Tereng, Jadus Kebon Talo, Kelompok Jama’ah Mushaallah Fahriah Amin, Toga, Tomas dan Pemuda, membahas tuntutan masyarakat agar shalat Jum’at yang dilaksanakan jama’ah mushallah Fahriah Amion dihentikan dan kembali bergabung dengan masyarakat lainnya yang dipusatkan di masjid Baitul Amin dusun Kebon Talo. Kembali Camat meminta Bupati untuk segera membuat keputusan terhadap tuntutan masyarakat tersebut.

TANGGAPAN MASYARAKAT
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Nusda Tenggara Barat, Anggota DPRD Propinsi Nusa Tenggara barat, Kepala Kandepag Lombok Barat, umumnya mereka berpendapat bahwa sebenarnya ajaran yang disampaikan oleh kelompok Salafi tidak tergolong sesat, dan termasuk masalah khilafiah. Perbedaan tersebut tak ubahnya terjadi antara faham Muhammadiyah da NU ketika kedua organisasi ini baru berdiri. Hanya saja yang disayangkan oleh mereka kelompok Salafi ini bersifat eksklusif dan cendrung menyalahkan kelompok lain. Sedangkan bagi kelompok non Salafi ajaran ini dianggap sesat karena berbeda dengan ajaran yang mereka peroleh dari tuan gurunya. Selain itu perseteruan ini ada kemungkinan juga disebabkan bukan hanya factor ajaran tetapi juga berkaitan dengan masalah politik dalam arti perebutan pengaruh. Kelompok Salafi umumnya dikenal sebagai pendukung Partai Keadilan Sejahtera dan Kelompok lainnya kebanyakan sebagai pendudkung Golkar dan Partai Persatyuan Pembangunan (PPP).


KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan.
1.Faktor penyebab konflik yang muncul antara kelompok Salafi dan Non Salafi adalah adanya dakwah yang bersifat eksklusif dan menyalahkan faham orang lain dan disisi lain kurangnya menghargai perbedaan pendapat yang terdapat dalam masyarakat.
2.Konflik ini terus berlanjut karena Bupati tidak berani membuat keputusan. Bila memenuhi tuntutan masyarakat dikuatirkan dianggap melanggar HAM, sedangkan apabila memberikan izin kepada kelompok Salafi dikuatirkan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
3.Solusi yang dibuat oleh Camat dan Kepala KUA, terlalu memihak pada kelompok tertentu, sehingga tidak dapat memuaskan semua pihak.
4.Dari segi ajaran, berbagai tokoh agama yang diwawancarai menganggap ajaran yang dikembangkan tidak tergolong sesat, tetapi merupakan masalah khilafiah.
B. Saran-Saran
1. Sebaiknya Bupati segera membuat keputusan, dengan memberikan kesempatan kepada kelompok ini untuk mengadakan aktifitasnya dengan diberikan persayaratan-persyaratan tertentu: seperti tidak boleh menyalahkan faham orang lain; ceramah tidak boleh memakai pengeras suara sehingga tidak didengar oleh oranglain.
2. MUI harus mengambil peran sebagai penengah, bukan memihak kepada kelompok tertentu. MUI mengeluarkan semacam fatwa bahwa ajaran yang dikembangkan kelompok Salafi tidak sesat.
3. Pejabat Departemen Agama hendaknya bertindak sebagai penengah/ mediator kedua belah fihak yang berkonflik. Jangan fihak Salafi saja yang dihimbau, tetapi kelompok lainnya juga dihimbau untuk menghormati kelompok lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar