Sabtu, 11 April 2009

PEMIKIRAN KEAGAMAAN LIBERAL DI INDONESIA1
(Sebuah Catatan Ringkas)
Oleh
Drs.H.Nuhrison M.Nuh

Pendahuluan
Istilah Islam liberal tadinya tidak terlalu diperhatikan orang Indonesia. Apalagi jumlah pendukungnya hanya minoritas yang amat kecil. Istilah itu justru menjadi amat populer setelah dikeluarkannya fatwa MUI pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa faham liberalisme adalah sesat dan menganut faham itu adalah haram hukumnya.
Arti kata Islam liberal tidak selamanya jelas. Leonard Binder, ketika menulis buku berjudul Islamic Liberalism (University of Chicago Press, 1988) memberi arti “ Islamic political liberalism” dengan penerapannya pada negara-negara Muslim di Timur Tengah. Mungkin diluar dugaan sebagian orang, buku itu selain menyajikan pendapat Ali Abd Raziq (Mesir) yang memang liberal tetapi juga membahas pikiran Maududi (Pakistan) yanf tentu saja lebih tepat disebut sebagai tokoh fundamentalis atau revivalis.
Sebaliknya bagi Greg Barton, dalam bukunya yang berjudul Gagasan Islam Liberal di Indonesia ( Paramadina, Jakarta, 1999) istilah “Islamic liberalism” nampaknya cukup jelas. Menurutnya Islam liberal di Indonesia adalah sama dengan pembaharuan Islam atau Islam neo modernis.
Seperti diketahui istilah neo modernis berasal dari Fazlur Rahman. Fazlur Rahman sebagimana dikutip Gereg Barton , membedakan gerakan pembaharuan Islam dalam dua abad terakhir kepada empat macam, yaitu: revivalisme Islam, modernisme Islam, neo revivalisme Islam dan neo modernisme Islam. Gerakan neo modernisme Islam mempunyai karakteristik sintesis progresif dari rasionalitas modernis dengan ijtihad dan tradisi klasik. (Greg Barton, 1999,9). Meskipun tipologi Fazlur Rahman ini dimaksudkan untuk seluruh dunia Islam, tetapi tipologi keempat diwakili juga oleh tokoh-tokoh Indonesia, seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib.2
Di Indonesia terdapat beberapa buku, yang sering dinilai sebagai pendapat kelompok Islam liberal, dua diantaranya ialah buku Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam(Jakarta, 2005) yang ditulis oleh Tim pengarusutamaan Gender pimpinan Musda Mulia dan buku “ Fiqih Lintas Agama” (Jakarta, Paramadina, 2004). Kalau dicermati kedua buku itu terlihatlah bahwa banyak pendapat dan argument di dalamnya yang sama atau mungkin diambil dari pikiran-pikiran Muhammad Syahrur, seorang sarjana tehnik yang belajar di Moskow, tetapi kemudian mengarang buku tentang Islam, diantaranya yang terkenal ialah Nahw Ushul Jadidah fi al-Fiq al-Islami, yang telah diterbitkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Jakarta, elSAQ,2004). Dengan demikian pemikiran Islam liberal di Indonesia bukanlah original, tetapi pengaruh literature internasional. Apalagi Fazlur Rahman memang adalah guru Nurcholish Madjid dan mempunyai hubungan dengan kaum pemikir Islam Indonesia. Pemikir Timur Tengah lain yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam liberal di Indonesia khususnya mengenai penggunaan hermeneutic untuk memahami Al-Qur’an adalah Hamid Nasr Abu Zaid.3

Model-Model Islam Liberal dan Tokoh-Tokohnya
Pada masa ini terdapat tiga bentuk Islam liberal yaitu syari’ah liberal (liberal shari’a), syari’ah yang diam (silent shar’ia) dan syari’ah yang ditafsirkan (interpreted shari’a). Syari’ah liberal menyatakan bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh,Ali Bullac (Turki,1951) berpendapat bahwa Piagam Madinah (Medina Document) – di mana Rasulullah menjamin hak-hak non-Muslim untuk hidup di bawah pemerintahan Muslim – menghadirkan sebuah contoh bagaimana syari’ah memecahkan masalah kontemporer secara liberal. Maurice Bucaille (Perancis, lahir 1920) berpendapat bahwa al-Qur’an memberikan metode-metode penalaran ilmiah, sedangkan kalangan ilmiah secular satu abad lebih lama untuk memahaminya. Syafique ‘Ali Khan (Pakistan, lahir 1936) dan Abdelkebir Alaoui M’Daghri (Maroko, lahir 1942) berpendapat bahwa syari’ah membangun kebebasan berpikir.4 Liberal shari’a tidak diragukan lagi, merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh.
Bentuk argumentasi Islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai topik-topik tertentu. Muhammad Salim Al-Awwa (Mesir,kontemporer), seorang sarjana hukum meringkaskan pendekatan ini sebagai berikut:
Jika Islam tidak “menyebutkan” sesuatu, hal ini menunjukkan satu dari dua hal: Apakah hal ini tidak disebutkan dalam sumber-sumber tradisional manapun atau kaum Muslim tidak pernah mempraktekkan sepanjang sejarah mereka. Dalam kasus yang pertama, tidak menyebutkan sesuatu berarti sesuatu itu dibolehkan. Pengecualian terhadap peraturan ini hanya berlaku dalam masalah ibadah…. Dalam kasus kedua…. Merupakan hal yang alamiah bahwa kaum Muslim seharusnya tanggap terhadap perubahan dan perkembangan setiap waktu dan tempat.5

Sedangkan syari’ah yang ditafsirkan (interpreted shari’a) berpendapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syari’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kesimpulan semacam ini sangat rentan terhadap tuduhan relativisme. Namun kaum liberal seperti Muhamad Asad (Leopold Weiss, Austria-Pakistan, lahir 1900), mempergunakan sumber-sumber pelaksanaan syari’ah seperti hadits Rasulullah saw: “ Perbedan-perbedaan pendapat di kalangan ummatku yang terpelajar merupakan rahmat Tuhan.6 Menurut hadits Rasulullah saw yang lain: “ Al-Qur’an bersifat lentur, terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran. Oleh karena itu, tafsirkanlah menurut kemungkinan cara yang terbaik.7” Muhammad Bahrul Ulum (Irak, lahir 1927), mengutip dua ayat al-Qur’an dalam memandang masalah ini:” Perbedaan pikiran, pandangan, dan metode sepenuhnya diakui, sehingga seseorang tidak bisa mencabut pendirian-pendirian orang lain. Jika Tuhan menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia sebagai umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat (Q.S,11: 118). ‘Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih’ (Q.S 10: 19).8 Menurut interpreted shari’a ketidak sepakatan dalam penafsiran berguna bagi komunitas Muslim. Yusuf al-Qardhawi (Mesir-Qatar, lahir 1926), misalnya membenarkan keanekaragaman pendapat itu dalam persoalan-persoalan praktis:
Ketakutan saya yang paling buruk terhadap gerakan Islam adalah bahwa gerakan itu menentang para pemikir bebas dikalangan pengikutnya serta menutup pintu bagi pembaruan dan ijtihad, membatasi dirinya sendiri dengan hanya satu jenis pemikiran yang tidak menerima sudut pandang yang lain…. Hasil akhir bagi gerakan tersebut adalah kehilangan pikiran-pikiran kreatifnya dan akhirnya mengalami stagnasi.9

Pada periode ini masalah yang banyak dibicarakan oleh kelompok Islam liberal antara lain mengenai pembaharuan pemikiran Islam, pembaharuan pendidikan, hubungan antara agama dan negara, masalah demokrasi, hak-hak kaum perempuan, hak-hak non-Muslim, kebebasan berfikir, dan gagasan tentang kemajuan.
Tokoh-tokoh Islam liberal yang muncul pada abad ke 19 di dunia Islam antara lain Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Muhammad Abduh (Mesir, 1849-1905), Sayyid Ahmad Khan (India, 1849-1905), Rifa’ah Rafi al-Tahtawi (Mesir 1801-1873), Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin (Sumatera-Malaysia, 1867-1957), KH. Ahmad Dahlan (Jawa- Indonesia, 1869-1923) dan Ahmad Surkati (Sudan-Indonseia, 1872-1943), ketiganya belajar di Al-Azhar atau di Mekkah dan kemudian turut mendirikan sekolah-sekolah reformis di Asia Tenggara.10 Sedangkan pada abad ke 20 muncul tokoh-tokoh Islam liberal antara lain: Mahmoud Muhamed Taha (Sudan, 1910-1985), Subhi al-Salih (Libanon, w,1986), Farag Fuda (Mesir, 1945-1992), Mohammad Sa’id (Aljazair 1947-1995),Maurice Bucaille (Perancis, lahir 1920), Ali Bullac (Turki, lahir 1951), Syafique ‘Ali Khan (Pakistan, lahir 1936), Abdelkebir Alaoui M’Daghri (Maroko, lahir 1942), Muhamamd Salim Al-awwa (Mesir, kontemporer), Muhammasd Sa’id Al-Asmawi (Mesir, lahir 1932), Ali Abd al-Raziq (Mesir), Muhammad Asad (Austria, lahir 1900), Muhammad bahrul Ulum (Irak, lahir 1927), Yusuf Al-Qardhawai ( Mesir-Qatar, lahir 1926), Mohammad Arkoun (Aljazair-Perancis), Ziaudin Sardar ( Pakistan-Inggris, lahir 1951), Fahmi Huwaidi (Mesir, lahir 1937), Amina Wadud Muhsin (Amerika serikat. Lahir 1952), Hasan Turabi (Sudan, lahir 1932), Abdurrahman Wahid (Indonesia,,lahir 1940), Ali Syari’ati (Iran), Muhammad Iqbal (India,1877-1938), Fazlur Rahman (Pakistan-Amerika Serikat), Nurcholish Madjid (Indonesia, lahir 1939), Hasan Hanafi (Mesir) dan masih banyak lagi tokoh yang tidak dapat disebutkan secara keseluruhan.11

Islam Liberal di Indonesia [Era Orde Baru]
Di Indonesia sejak tahun 1970 an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, maka beberapa cendekiawan Muslim memberikan responnya, dalam rangka memberikan jawaban terhadap tantangan tersebut. Terhadap situasi baru yang sedang dihadapi, mereka tidak menemukan jawabannya dari sumber-sumber masa lalu, maka mereka mencoba memberikan jawabannya sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka masing-amsing. Maka muncullah kelompok anak muda yang menggaungkan “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Karena mereka mencoba memahami ajaran Islam sesuai konteks Indonesia, maka walaupun mereka tidak menyebut dirinya sebagai kelompok Islam liberal, dapatlah mereka digolongkan kepada penganut Islam liberal, dalam arti menolak taklid dan melakukan ijtihad, serta menolak otoritas individu maupun kelompok dalam menafsirkan ajaran agama.
Untuk kasus Indonesia terdapat empat versi Islam liberal, yaitu modernisme, universalisme, sosialisme demokrasi, dan neo-modernisme. Modernisme mengembangkan pola pemikiran yang menekankan pada aspek rasionalitas dan pembaruan pemikiran Islam sesuai dengan kondisi-kondisi modern. Dalam hubungan ini, tradisi lampau – yang merupakan hasil interpretasi ulama masa lalu yang telah terlembagakan secara mapan, namun dianggap tidak sesuai dengan modernisme – tidak perlu dipertahankan terus. Dengan demikian ada kesan puritanisme. Meskipun demikian, pendukung pemikiran ini, tetap melihat secara kritis pemikiran para pendukung modernisme. Ahmad Syafii Maarif, walau berguru pada orang yang sama dengan Nurcholish Madjid, justru melihat secara kritis pemikiran-pemikiran kaum Masyumi dalam perdebatan-perdebatan di konstituante. Namun, ia tetap berpendapat bahwa sebagian besar ajaran islam adalah ajaran-ajaran yang tidak mungkin tidak masuk akal. Dan menurut dia, tugas utama umat Islam adalah mengembangkan pemikiran. “Umat Islam Selama Seribu Tahun telah Berhenti Berpikir”.12 Bersama-sama dengan Ahmad Syafi’i Ma’arif, Djohan Effendi termasuk pendukung pola modernisme ini. Tetapi pikiran-pikirannya jauh lebih bersifat pembaruan teologis.
Universalisme merupakan pendudukung modernisme yang berpendapat bahwa , pada dasarnya Islam itu bersifat universal. Karena itu, ia merupakan dictum yang tetap. Betul bahwa Islam bisa berada dalam konteks nasional. Tetapi nasionalisasi- atau menurut istilah Abdurrahman Wahid, membumikan Islam- bukanlah tujuan final Islam itu sendiri. Dalam konteks paham nasionalisme itu juga, pendukung pola pemikiran ini berpendapat bahwa nasionalisme adalah sesuatu yang harus ditegakkan dalam Islam. Ajaran-ajarannya sendiri mendorong penganutnya untuk menjadi nasionalistis. Karena itu, pada dasarnya, mereka tidak mengenal dikotomi antara nasionalisme dan Islamisme. Keduanya saling menunjang. Masalahnya adalah bahwa pempribumian Islam bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan fundamental terhadap hakikat Islam yang bersifat universal itu. Pola pemikiran ini, walau secara samara-samar terlihat dalam pemikiran Jalaluddin Rahmat, M.Amin Rais, A.M.Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim. 13
Sosialisme –Demokrasi , pola pemikiran yang menganggap bahwa missi Islam yang terutama adalah misi ke Islaman. Karena itu kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu memotivasikan secara terus menerus dan mentransformasikan berbagai aspeknya. Karena itu, mereka berpendapat bahwa transformasi pertama bukanlah aspek teologi Islam, melainkan masyarakat nasional - bukan hanya masyarakat islam - secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu, para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa sstruktur social politik dan, terutama, ekonomi dibanyak Negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan. Karena itu, belum Islamis. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formal. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi ke perubahan-perubahan social ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil demokratis. Adi Sasono dan M.Dawam rahardjo, juga Kuntowidjojo bisa dimasukkan dalam pola pemikiran ini.14
Sedangkan “Neo Modernisme” mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan – pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, sebagaimana mereka cita-citakan , Islam akan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Tetapi pengejaran untuk itu tidak mesti menghilangkan tradisi ke-Islaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil) al-muhafazhah ala al-qadim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (memelihara yang lama dan baik, dan mengambil yang baru dan lebih baik). Dari segi lain, pendudkung neo modernisme cendrung meletakkan dasar-dasar ke Islaman dalam konteks atau lingkup nasional. Mereka percaya bahwa betapapun , Islam bersifat universal, namun kondisi-kondisi suatu bangsa, secara tidak terelakkan, pasti berpengaruh terhadap Islam itu sendiri15 Dan dua tokoh intelektual yang emnajdi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Tampaknya bagi Nurcholis, sikap ini lebih dipengaruhi oleh ide Fazlur Rahman, guru besarnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat.16 Setidak-tidaknya hal ini terlihat dalam tulisannya yang terakhir.17 Sedang bagi Abdurrahman Wahid, neo modernisme merupakan sikapnya yang konsisten sejak dahulu, karena hal itu disosialisasikan dalam kultur ahlussunnah wal jama’ah versi Indonesia, yaitu kalangan NU.18 Karena itu,ide-ide ke Islamannya memang tampak jauh lebih empiris, terutama pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik.19
Pemikiran yang dikembangkan pada periode ini antara lain: hubungan Islam dan Negara, pemikiran ini berupaya mendamaikan, atau menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyataan negara dan politik negara. Pemikiran Nurcholish intinya memisahkan Islam dengan ideology, sebab dengan menempatkan Islam sebagai ideology, berakibat merendahkan Islam menjadi setaraf dengan berbagai ideology yang ada. Kemudian dikembangkan pemikiran tentang inklusifisme dalam Islam, tentang demokrasi, Islam dan Pancasila, penanganan masalah kemiskinan dan keadilan, Islam sebagai komplementer, Neofundamentalisme, liberalisasi terhadap ajaran-ajaran islam (proses liberalisasi ini menyangkut proses-proses lain seperti sekularisasi, kebebasab berpikir, gagasan untuk maju [idea of progress], sikap keterbukaan [inklusivisme]). Selain itu dikembangkan pemikiran Islam di bidang ekonomi, kebudayaan dan modernisasi, transformasi masyarakat Islam, Islam dan persamaan derajat (emansipatoris), Islam dan system terbuka, Tauhid dan Watak Revolusioner Islam, dan masih banyak lagi pemikiran-pemikian yang dikembangkan oleh para pemikir tersebut.20
Pemikiran- pemikiran yang dikembangkan oleh tokoh liberal baik pada tingkat internasional maupun nasional, mendapat tantangan dan tanggapan yang kurang simpati dari kelompok tradisional maupun revivalis, tidak jarang mereka dituduh sesat dan antek Barat dalam rangka mengahancurkan Islam. Bahkan tidak sedikit dari mereka di usir dari negaranya, bahkan yang lebih mengenaskan ada diantara mereka yang dihukum mati. Beruntung di Indonesia mereka yang tergolong liberal hanya beberapa orang yang mendapat tanggapan yang kurang simpati, itupun hanya diberikan oleh sekelompok kecil masyarakat yang belum dapat menerima adanya perbedaan dalam menafsirkan ajaran—ajaran Islam.
Sebenarnya, kalau diperhatikan apa yang dikemukakan oleh Charles Kurzman, Fachri Ali dan Bachtiar Effendi yang dimuat dalam bukunya seperti disebutkan diatas, maka pemikiran Islam liberal, baik yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh internasional maupun nasional, sebenarnya masih memiliki akar yang otentik dalam Islam.

Islam Liberal di Indonesia [Era Reformasi]
Sejak akhir tahun 1990an muncul dikalangan anak muda kelompok yang menamakan dirinya “Islam Liberal”. Kelompok anak muda ini mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke 20 dan awal abad ke 21. Kalau kelompok cendekiawan masa Orde Baru tidak berani menyebut diri mereka secara langsung sebagai kelompok Islam liberal, tetapi anak-anak muda yang muncul pada akhir tahun 1990an (era reformasi) secara berani menyebut diri mereka Islam liberal yang sudah barang tentu bisa dikaitkan dengan faham liberalisme yang ada di Barat. Apalagi tema-tema yang diangkat dianggap banyak menggugat ajaran Islam yang dianggap sudah baku, sudah barang tentu kelompok ini banyak mendapat kritikan tajam dari kalangan kelompok conservative, bahkan tokoh utamanya pernah diancam dengan hukuman mati. Majelis Ulama Indonesia melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, maka pada Munasnya yang ke7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 telah mengeluarkan fatwa bahwa Pluralisme, sekularisme dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama.21 Yang dimaksud dengan Islam liberal menurut MUI adalah paham Liberalisme yaitu memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran manusia.22
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kata “liberal” dalam istilah Islam liberal, maka kita kutip apa yang dikemukakan oleh Ulil Abshar Abdalah dalam buku “Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan yang dinamis”.
Dia mengatakan bahwa penambahan kata “liberal” dalam Islam, sesungguhnya hendak menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah “niat” atau dorongan-dorongan emotif-subyektif dalam manusia itu sendiri.Dan sebaiknya kata liberal dalam “Islam Liberal” dipahami dalam kerangka semacam ini. Kata “liberal” di sini tidak ada sangkut pautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap permissive yang melawan kecendrungan “instrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia, dan menempatkan manusia pada focus penghayatan keagamaan, maka kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam itu sendiri. 23
Lebih jauh Ulil mengatakan :
“ Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang, bahwa istilah “liberal” dalam Islam liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan dengan sikap permisif, ibahiyah, sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga. Dalam Islam , persoalan “batasan” (hadd) antara mana yang boleh (mubah) dan yang tak boleh (mahdzur), menempati kedudukan yang begitu sentral. Setiap orang Islam selalu peduli pada apa yang dia kerjakan, apakah perbuatan itu boleh apa tidak. Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan literature yang canggih, yaitu bidang fikih. Dalam diskusi-diskusi tentang penerapan hukum Islam (fikih), kelihatan sekali bahwa tekanan diberikan kepada “kewajiban”, yaitu kewajiban seorang Muslim terhadap Allah, sesama manusia dan dirinya sendiri. Bahasa kewajiban lebih menonjol, menutup bahasa hak dan kebebasan manusia. Islam liberal muncul dalam semangat menyeimbangkan “neraca” antara bahasa kewajiban dan kebebasan/hak ini.”24

Islam liberal di Indonesia pada era reformasi menjadi eksis setelah didirikannya sebuah “jaringan” kelompok diskusi pada tanggal 8 Maret 2001. Kelompok ini didirikan untuk kepentingan pencerahan dan pembebasan pemikiran Islam Indonesia. Usahanya dilakukan dengan membangun Milis ( Islamliberal @ Yahoo.com). Kegiatan utama kelompok ini adalah berdiskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan Islam , Negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Menurut hasil diskusi yang dirilis – pada tanggal 1 Maret 2002 - Jaringan Islam Liberal (JIL) telah berhasil menghadirkan 200 orang anggota diskusi yang berasal dari kalangan para penulis, intelektual dan para pengamat politik. Diantara mereka muncul nama-nama seperti; Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saefullah Fatah, Hadi Mulya, Ulil Abshar Abdallah, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Asysyaukani.
Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar defenisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu di atas. Persoalan Islam, Negara dan isu-isu kemasyarakatan kemudian menjadi tiga kelompok yakni teologis, kelompok sosiologis dan kelompok politis. Kelompok teologis mengagendakan tiga tema besar yaitu; Islam yang mencakup defenisi, signifikansi,peran,tokoh dan pengaruh. Kedua dalam tema ini dibahas tema Al-Qur’an (wahyu,sejarah, perkembangan, pengaruh, perbandingan dengan kitab suci yang lain, literature dll). Ketiga, tema tentang doktrin-doktrin Islam seperti salat, zakat, haji, perbuatan baik, dll. Kelompok kedua (sosiologis) menggarap tiga tema besar juga yaitu; system hukum, system ekonomi dan system budaya. Kelompok ketiga, politis mengagendakan dua tema sentral yakni konsep Negara dalam Islam dan system politik (syura, demokrasi, teokrasi dan lain-lain.)
Pendefenisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, yaitu Islam yang dicirikan dengan adanya kombinasi antara praktik setempat/ local. Tradisi kedua, alternativ terhadap yang pertama, disebut Islam revivalis atau sering disebut Islamis, Fundamentalis atau skripturalis atau Wahabis dan Salafis. Banyak analis yang mengabaikan tradisi ketiga, yakni Liberal Islam, yang sama-sama kontras terhadap customary Islam, tetapi Liberal Islam menoleh masa lalu untuk kepentingan masa depan atas nama modernitas. Bedanya dengan tradisi revivalis yang dapat juga meneriakkan modernitas tetapi untuk kepentingan masa lampau. Kritik yang muncul dalam diskusi awal adalah apakah Islam Liberal akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civic-culture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu dimana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah scipticisme dan agnotisme yang hidup dalam masyarakat Islam?. Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah defenisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan rsepon terhadap modernitas, atau tradisional dan juga fundamentalis.
Islam Liberal berkembang melalui media massa. Surat kabar utama yang menjadi corong pemikiran Islam Liberal adalah Jawa Pos yang terbit di Surabaya, Tempo di Jakarta dan Radio Kantor Berita 68 H, Utan Kayu Jakarta. Melalui media tersebut disebarkan gagasan-gagasan dan penafsiran liberal. Pernah suatu ketika, pemikiran dan gerakan ini menuai protes bahkan ancaman kekerasan dari lawan-lawan mereka. Bahkan masyarakat sekitar Utan Kayu pernah juga menuntut Radio dan komunitas JIL untuk pindah dari lingkungan tersebut. Karya-karya yang dicurigai sebagai representasi pemikiran liberal Islam dibicarakan dan dikutuk oleh lawan-lawannya, terutama melalui khutbah dan pengajian. Buku seperti Fiqih Lintas Agama (Tim Penulis Paramadina), Menjadi Muslim Liberal (Uli Abshar Abdallah) Counter-Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Musda Mulia dkk),Indahnya Perka winan Antar Jenis (Jurnal IAIN Walisongo) dan banyak lagi artikel tentang Islam yang mengikuti arus utama pemikiran liberal. Ketegangan antara yang pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang kontributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar Abdallah belajar ke Amerika Serikat.
Pemikiran Ulil kalau dibaca melalui bukunya “Menjadi Muslim Liberal” adanya konsistensi penulisnya untuk menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonic, tidak pluralis, antidemokrasi, yang potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Ia tidak merasa comportable dengan model tafsir yang demikian. Dengan narasi dan semantik yang lugas, Ulil misalnya melancarkan kritiknya pada MUI yang dalam amatannya telah memonopoli penafsiran atas Islam. Fatwa MUI yang menyatakan bahwa pluralisme, liberalisme, dan sekularisme adalah daerah terlarang; Ahmadiyah adalah keluar dari Islam – telah menyalakan emosi Ulil yang nyaris tak terkendali. Pendeknya Ulil konsisten dalam ihwal penolakannya terhadap mereka yang memonumenkan Islam dan memfinalkan tafsir.25
Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen, sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya “On Being Muslim” kita menjadi tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalisme pemikiran keislamannya justru dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushul fikih, qowaid fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustaznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argument serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.26
Mengenai Ulil sebagai gembong Islam Liberal, menarik pendapat Abdurrahman Wahid dalam Prolog buku “Menjadi Muslim Liberal”, Gus Dur mengatakan: Tidak heran jika reaksi orang menjadi sangat besar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting Ulil Abshar Abdallah adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja dia percaya akan batas-batas kemerdekaan itu, karena bagaimanapun tidak ada yang sempurna kecuali Tuhan. Selama ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’an:”dan tidak ada yang abadi kecuali kehadirat Tuhan” (wala yabqa illa wajhuh), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat apa saja, tetapi tidak dapat merubah kenyataan ini. Seorang Muslim yang menyatakan Ulil antimuslim, akan terkena sabda Nabi Muhammad saw: “ Barang siapa yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam, justru ialah yang kafir: ( man kaffara akhahu muslimun fahuwa kafirun).
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibn Rusyd, yang membela habis-habisan kemerdekaan berfikir dalam Islam. Sebagai akibatnya Ibn Rusyd juga di “kafirkan” orang, tentu saja oleh mereka yang berfikiran sempit dan takut akan perubahan-perubahan. Dalam hal ini, memang spectrum antara pengikut paham sumber tertulis (ahl al-naql), dan penganut paham serba akal (ahl al-naql atau kaum rasionalis) dalam Islam memang sangat lebar.
Jelaslah menurut Gus Dur “kesalahan” Ulil adalah karena ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam kuat di benak kaum Muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’an menyatakan “Telah kusempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini (QS Al-Maidah (5):4) dan “Masuklah kedalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (QS Al-Baqarah (2): 128), maka seolah-olah jalan sudah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang dimaksudkan kedua ayat tersebut adalah terwujudnya prinsip-prinsip kebenaran dalam Islam, bukannya perincian tentang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal tersebut, dan karena pengetahuannya tersebut ia berani menumbuhkan dan mengembangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang diperlukannya. Dan orang lain itu marah kepadanya, karena mereka tidak menguasai penafsiran istilah tersebut. Berpulang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. Akhirnya Gus Dur membuat pertanyaan. Mengapa Ulil yang sudah tahu kalau pendapatnya akan mendapatkan reaksi keras dari masyarakat, tetapi tetap mengemukan pendapatnya ada dua kemungkinan. Pertama dia terganggu oleh kenyataan akan lebarnya spectrum diatas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewarnai jalan pikiran kaum muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia ingin membuat para “muslim pinggiran” merasa di rumah mereka sendiri ( at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan ini baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan., mungkin saja menjadi motif yang diambil Ulil Abshar Abdallah.27
Sebagai hasil sebuah pemikiran, pemikiran yang dikembangkan oleh JIL cukup mengusik dan sekaligus menantang. Sayangnya, hanya kalangan fundamentalis saja yang mencoba melakukan perlawanan retorik. Majalah seperti Sabili, Hidayatullah, dan media-media di lingkungan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia mencoba untuk memberikan counter opini terhadap gagasan-gagasan yang diusung oleh jaringanIslam liberal (JIL).

Pemikiran Keagamaan Liberal
di Berbagai Kota Besar Indonesia
Menyikapi berkembangnya sikap pro dan kontra dalam masyarakat, maka Puslitbang Kehidupan Keagamaan mencoba menggali informasi dari lapangan mengenai perkembangan pemikiran keagamaan liberal di berbagai kota besar Indonesia. Pemikiran keagamaan liberal yang dikaji tidak hanya dikalangan Islam, tetapi juga pada agama-agama lainnya yaitu : Kristen, Katolik dan Hindu, walaupun sebagian besar tulisan pengantar ini hanya berbicara tentang pemikiran Islam liberal.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah; (a) perkembangan pemikiran liberal dalam agama Islam, Kristen, Katolik dan Hindu; (b) metodologi dalam memahami teks-teks keagamaan; (c) produk-produk hasil pemikiran; (d) cara pemasyarakatan pemikiran keagamaan yang dikembangkan; dan (e) respon pemuka agama terhadap produk pemikiran yang dimunculkan.
Penelitian ini diadakan dibeberapa kota besar Indonesia yaitu, Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar (Hindu), Kupang (Katolik) dan Manado (Kristen).
Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap tokoh dan penganut faham keagamaan liberal, penelusuran dokumen baik berupa buku-buku dan tulisan diberbagai media. Buku ini memuat enam tulisan yang berkaitan dengan pemikiran Islam liberal, dan masing-masing satu tulisan pemikiran liberal dalam agama Kristen, Katolik dan Hindu.
Sdr Zaenal Abidin dan Achmad Rosidi melakukan penelitian tentang Faham Islam Liberal Masyarakat Kota Yogyakarta. Perkembangan pemikiran Islam liberal di Kota Yogyakarta bermula dan dikembangkan dari kampus IAIN Sunan Kalijaga pada decade tahun 1980an oleh para dosen dan akademisi kampus melalui kajian keislaman yang diikuti oleh para mahasiswa. Diantara tokoh penting terhadap perkembangan awal pemikiran Islam liberal di Yogyakarta adalah Ahmad Wahib, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo. Pada saat ini muncul Dr Amin Abdullah dan Dr Munir Mulkhan. Selain di kampus secara lembaga, kajian Islam liberal dilakukan oleh kelompok anak-anak muda yang tergabung dalam forum Lembaga Kajian islam dan Sosial (LkiS). Anak muda yang tergabung dalam kelompok ini sebagian besar berlatar belakang keluarga NU atau berpendidikan pesantren tradisonal. Sedangkan dilingkungan intelektual muda Muhammadiyah terdapat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah yang disingkat JIMM.
Beberapa pemikiran yang dikembangkan antara lain bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka. Ijtihad harus diselenggarakan secara kaffah, baik segi mu’amalat, ubudiyat dan ilahiyat atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dan berkembang dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad ancaman buat Islam itu sendiri sehingga terjadi pembusukan dalam Islam. Ijtihad yang dikembangkan merupakan upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat relegio-etik Qur’an dan sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akanmelumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan relegio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan yang universal.
Dalam memaknai teks Al-Qur’an dan Al-Hadits menggunakan metode tafsir hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Yang dimaksud dengan faham keagamaan liberal oleh kelompok ini adalah cara menafsirkan teks berdasarkan semangat relegio-etik dari kitab suci, tidak menafsirkan agama berdasarkan makna literal sebuah teks. Oleh sebab itu penafsiran kitab suci bersifat relative dan plural.
Selain itu dalam menafsirkan teks selalu memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur social politik yang mengawetkan praktek ketidak adilan atas monoritas bertentangan dengan semangat Islam. Minoritas disini difahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnis, ras, jender, budaya, politik dan ekonomi. Tidak membenarkan penganiayaan atas suatu pendapat atau kepercayaan serta terdapat pemisahan kekuasaan antara agama dan politik. Agama berada diruang privat dan urusan public harus ditetapkan secara consensus.
Memeluk suatu agama adalah hak privat setiap individu, apakah seseorang akan memeluk agama islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha bahkan tidak beragama. Kebenaran berada pada semua agama dimana agama-agama tersebut memiliki satu tujuan yaitu Tuhan. Semua agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama, memiliki tuuuan dan mengabdi pada Tuhan yang sama. Islam yang difahami bukan Islam sebuah nama, namun agama yang memiliki sikap kepasrahan,tunduk dan aptuh pada Tuhan. Letak perbedaannya pada aspek lahiriah, penampilan-penampilan dan tata cara beribadah serta jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Sikap demikian bukan berarti memunculkan sinkretisme agama, justru akanmendorong setiap orang untuk mkonsekwen dalam memeluk agamanya tanpa embel-embel negative terhadap agama lain.
Pemikiran Islam liberal belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Meskipun semangat anak-anak muda tidak boleh diberangus, para ulama harus selalu melakukan koreksi dan evaluasi agar anak-anak muda tidak terjerumus kepada pemahaman dan pemikiran yang menyimpang dan menyesatkan serta menghancurkan aqidah.
A.M Khaolani dan Wahid Sugiyarto melakuka penelitian tentang: Faham-Faham Keagamaan Liberal pada Masyarakat Perkotaan ( Studi Faham Keagamaan di Pesantren Mahasiswa “An-Nur” Wonocolo Surabaya). Pandangan masyarakat selama ini cendrung beranggapan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang mengembangkan faham tradisona, tetapi pesantren “An-Nur” ini menurut masyarakat setempat mengembangkan faham keagamaan liberal dimana mahsasiswanya terdiri dari mahasiswa S1 dan S 2. Disebut pesantren berfaham liberal karena pimpinannya Dr Imam Ghazali Said mempunyai perhatian terhadap kebebasan berfikir, kebebasan menafsirkan agama, dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda seperti pendapay Yusman Roy yang menggunakan dua bahasa dalam mengerjakan salat.
Pendirian pondok pesantren mahasiswa An-Nur merupakan inovasi eksprimental dari sistim pendidikan keagamaan di Indonesia. Sebagai eksprimen, karena pendirian pondok pesantren ini merupakan pengalaman kunjungannya terhadap berbagai system pendidikan diberbagai negara. Pengalaman dalam pengembaraan ke berbagai negara itu memberi kesan yang mendalam bagi Imam untuk melakukan inovasi pendidikan yang meungkinkan mahasiswa Indonesia memahami Islam secara utuh, yaitu menguasai ilmu pengetahuan yang digeluti di perguruan tinggi dan sekaligus mempunayi pengalaman, pengamalan dan penghayatan agama yang mendalam. Cita-citanya tersebut dapat direalisasikan setelah yayasan pendidikan dan Sosial An-Nur mendukung gagasan Imam Ghazali untuk mendirikan pesantren yang dikhususkan bagi para mahasiswa pada tanggal 2 Januari 1994.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Imam Gazali Said antara lain: mengenai kebebasan berpikir menurutnya tidak ada alasan yang kuat bagi seseorang untuk takut berpikir, dan orang tidak dibenarkan untuk mengekang kebebasan berpikir berdasarkan dalih apapun, meskipun mengklaim atas nama Tuhan, Nabi dan kitav suci. Bukankah akal merupakan merupakan pemberian Tuhan yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.Bukankah berpikir dan menggunakan akal merupakan prasyarat bagi manusia agar dapat berkreasi. Kegiatan berpikir telah ditempuh Ibrahim ketika ia mencari Tuhannya. Dilakukan Isa ketika memberontak terhadap penjaga bait Allah dikalangan orang Yahudi, juga dilakukan Muhammad ketika menganalisis relasi social atas hegemoni orang-orang kaya dan bangsawan Quraisy terhadap masyarakat Araab jahiliyah. Diatas segala-galanya kebebasan berpikir dan menggunakan akal dengan segala konsekuensinya bukanlah tindakan kriminal yang harus dihakimi ramai-ramai atas nama agama, atas nama Tuhan, atas kitab suci apalagi sekedar atas nama para penjaga moral.
Mengenai pluralisme ia sependapat dengan pendapat NU dan Muhammadiyah yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pluralisme itu adalah sebuah sikap menghargai keyakinan umaat lain sebagaimana dinayatakan dalam Al-Qur’an ”lakum dinukum waliyadin”. Mereka tidak sependapat jika pluralisme agama diartikan semua agama sama benarnya, dan nanti sama-sama masuk surga. Pendapat NU-dan Muhammadiyah ini digolongkan oleh Imam sebagai penganut paham pluralisme hegemonik, karena mengakui akan adanya kebenaran dalam agama lain, tetapi yang paling diridhoi, benar dan sempurna hanyalah Islam.
Dalam kesimpulannya Sdr Wakhid Sugiyarto mengatakan bahwa konflik pemikiran antara kalangan muslim liberal dan konservatif harus dipahami sebagai konflik pemikiran biasa, karenan dengan itulah akan lahir dinamika pemikiran keagamaan yang sesungguhnya sangat sehat. Persoalannya adalah ketika kelompok-kelompok eksklusif sudah mulai menggunakan kekerasan fisik untuk menyingkirkan kelompok-kelompok yang berbeda dengan pahamnya. Apalagi bila kelompok-kelompok keagamaan yang semstinya menjadi penyejuk umat malah ikut bermain dalam arena atau setidak-tidaknya ikut mendorong terjadinya kekersan fisik terhadap kelompok diluar arus utama (mainstream).
Djuhardi AS dan Eko Aliroso mengadakan penelitian tentang Faham Keagamaan Liberal pada Lembaga Studi dan Transformasi Masyarakat ( LETSFORM) di kota Bandung. Munculnya Letsform merupakan rsepon dari kalangan muda Muhammadiyah yang melihat adanya kemadegan dalam pemikiran keagamaan dikalangan aktifis Muhammadiyah. Untuk itu diperlukan revitalisasi gerakan agar mampu menampung berbagai ide dan pemikiran alternatif sekaligus solusi yang dapat disosialisasikan mminimal di kalangan internal Muhammadiyah. Untuk menampung aspirasi tersebut maka dibentuklah wadah yang bernama: Lembaga Studi dan Transformasi Masyarakat disingkat LETSFORM, beralamat di Jl Sancang No 6 Bandung. Penggagas berdirinya Letsform adalah Drs Ayat Dimyati M.Ag dibantu oleh Ayi Yunus sebagai Koordinator Program, Dede Syarif sebagai sekretaris Program, Asep Muslim Nurdin sebagai Bendahara Program dan Hendar Riyadi, Irfan Amali, Saleh Rahmana, Denden Firman Arif sebagai anggotya. Sedangkan Prof.Dr. Dadang Kahmad, Prof Dr Syafi’i Ma’arif, Prof DR Dien Syamsudin, Dr Afif Muhammad bertindak sebagai konsultan ahli. Meskipun para pengurusnya terdiri dari kalangan intelektual Muhammadiyah tetapi organisasi ini berada diluar kendali Muhammadiyah.
Aktivis Lembaga ini dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits tidak bersifat tekstual, tetapi lebih menekankan pada kontekstual. Bahkan hadits yang shahipun masih dapat dikaji apakah masih relevan atau tidak dengan kondisi sekarang. Pada dasarnya menurut Eko Aliroso Letsform senang dengan interpretasi yang bebas, namun dalam beberapa hal masih mengikuti paham konservatif. Para pemikir modernis yang biasa menggunakan metode tafsir kontekstual mempunyai adagium: ” bahwa Islam adalah agama yang cocok dimana saja, kapan saja dan tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan penafsiran seperti itu, maka teks-teks suci tidak kehilangan konteks masa kini, karena dengan pola penafsiran lama dan adagium lama telah mengakibatkan terjadinya sakralisasi teks, sehingga menimbulkan kemadegan intelektual dan semakin kehilangan konteksnya di masa kini.
Kelompok ini sebenarnya kurang senang disebut sebagi kelompok yaang berpaham liberal mereka lebih senang disebut dengan Islam Transformatif sebagaimana dikembangkan oleh Dr Muslim Abdurrahman. Ada lima dasar yang menjadi acuan yaitu Unity of Godhead, Unity of Creation, Unity of Mankind, Unity of Purpose of Life, and Unity of Guidance (Kesatuan Ketuhanan, Kesatuan Penciptaan, Kesatuan Kemanusiaan, Kesatuan Pedoman Hidup dan Kesatuan Tujuan Hidup).
Aktivitas yang mereka lakukan antara lain mengadakan diskusi tentang berbagai masalah aktual yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Dalam diskusi tersebut diunadng berbagai tokoh organisasi keagamaan, yang sekaligus dianggap merupakan sosialisasi dari paham mereka. Mereka pernah mengadakan seminar bertaraf internasional yang bertemakan: Relegion, Radicalism and Multiculturalism; Indonesia and United Kingdom Experience” bertempat di hotel Savoy Homan pada tangal 1 Februari 2006, kerjasama antara PW Muhammadiyah Jawa Barat dengan British Embassy Jakarta dan British Council dibantu oleh Grafindo Media Pratama.
Respon pemuka agama pada umumnya baik, hal tersebut dimungkinkan karena Letsform cukup terbuka, hal tersebut tercermin dalam kegiatan/event tertentu sering mengundang tokoh-tokoh agama untuk berdiskusi tentang persoalan keagamaan di masayarakat, selain itu ketua Majelsi Fatwa MUI Jawa Barat juga duduk dalam kepengurusan Letsform. Sedangkan dikalangan pemerintah memberikan rsepon positif, bahkan Letsform diharapkan ikut membantu menghindarkan konflik dalam masyarakat yang menyangkut persoalan pemahaman keagamaan yang bersifat khilafiyah.
Ibnu Hasan Muchtar dan Reza Perwira melakukan penelitian tentang Faham Keagamaan Liberal pada Forum Masyarakat Ciputat (Formaci). Dengan dikembangkannya pemikiran kritis terhadap hazanah pemikiran keislaman masa lalu memunculkan kelompok-kelompok studi dikalangan mahasiswa IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat. Diantara kelompok studi yang muncul di IAIN Ciputat adalah Respondio dan KSC (Kelompok Studi Ciputat). Setelah berhasil melakukan beberapa aktivitas maka timbullah ide untuk membentuk forum bersama yang mempunyai perhatian terhadap pengembangan intelektual dan tulis menulis. Akhirnya disepakati pendirian sebuah wadah/forum yang menekankan programnya menulis dan menerjemahkan teks-teks yang mempunyai semangat transformative, forum tersebut diberi nama Forum Mahasiswa Ciputat yang disingkat Formaci.
Formaci didirikan pada tahun 1986 dipelopori oleh Ihsan Ali Fauzi, Ali Munhanif, Arif Subhan, Saiful Mujani, Hendro Prasetio dan Budhy Munawar Rahman. Bagi mereka marginalitas terhadap gerakan mahasiswa membuat perlunya dikembangkan tradisi intelektual dalam kelompok studi. Tradisi intelektual ini digunakan untuk melahirkan kesadaran kritis bagi mahasiswa terhadap realitas yang ada. Formaci lahir dilatarbelakangi oleh sebuah oergumulan mahasiswa-mahasiswa Ciputat yang merasa “terpasung: dengan kondisi lingkuangannya. Wacana yang diajarkan di IAIN pada saat itu dirasakan bagi para pendiri Formaci hanya berkutat pada wacana leislaman klasik dan bersifat normative, sehingga menurut pandangan para pelopor pendiri Formaci, Islam tidak dapat menganalisis realitas social yang ada.
Formaci mempunyai Visi membangun masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga agama Islam dipandang sebagai agama yang trnsformatif, rasional, dan tanggap terhadap perubahan sehingga mampu menganalisis realitas siosial yang ada. Formaci beranggapan bahwa landasan-landasan etis dari Al-Qur’an maupun sunnah tidak bisa dirumuskan tanpa memperhatikan realitas yang telah melembaga sebagai hasil interaksi manusia. Persepsi manusia mengenai realitas di bumi ini akan mempengaruhi persepsi kita tentang nilai-nilai, dan sebaliknya nilai-nilai yang diyakini akan ikut mencipatakan realitas histories. Oleh karena itu melakukan penafsiran tarus menerus terhadap nilaio-nilai dan melakukan perubahan terhadap realitas historis merupakan tugas yang diemban Foemaci.
Adapun misi Formaci adalah meningkatkan kualitas para anggotanya dengan melakukan upaya-upaya mengkaji wacana keislaman, ilmu-ilmu social dan filsafat sehingga timbul pola piker islami yang transformative, bersifat humanis, rasional dan tanggap terhadap perubahan. Ada tiga strategi yang dilakukan oleh Formaci dalam mencapai visi dan missinya. Pettama, forum, yaitu mengadakan diskusi dan mengundang orang luar untuk ”meramaikan” Formaci. Kedua, kaderisasi, yaitu program-program belajar kelas yang dikordinasi oleh para anggota Formaci yang dianggap mampu atau ahli dibidangnya. mKetiga, advokasi, yaitu membuka jaringan dengan lembaga lain. Dalam menunjang strategi tersebut dilakukan beberapa hal, yakni, publikasi, dokumentasi, penelitian (pendataan tesis-tesis yang dianggap bagus dan buku-buku cendekiawan), dan kegiatan perpustakaan. Program yang dikembangkan oleh Formaci antara lain: semi kursus, studium general, diskusi hasil riset dan seminar. Formaci telah berhasil melahirkan intelektual-intelektual muda muslim yang progresif dan berpengaruh, yang hingga kini banyak aktif di dalam kegiatan-kegiata akademis dan kebudayaan khususnya pada generasi 1980an. Diantaranya adalah Saiful Mujani, Budhy Munawar Rahman, Ali Munhanif, Ihsan Ali Fauzi, dan Hendro Prasetio. Hal inilah yang menyebabkan Formaci cukup dikenal pada skala nasional.
Mengenai gagasan Islam liberal menurut Formaci pada dasarnya ditujukan untuk mermbangun sikap keterbukaan dan rasionalisme yang berangkat dari keyakinan bahwa Islam tidak satu, tidak ada Islam tetapi yang ada adalah Islams. Pandangan tersebut muncul dari fakta bahwa dalam Islam terdapat banyhak corak penafsiran yang semuanya mengatakan bahwa diri mereka benar dan mengklaim dasar pemikiran mereka bersumber pada al-Qur’an dan sunnah. Kemajemukan tersebut menuntut Islam Liberal yang bergerak dalam ruang publik untuk membangun semacam liberalisme dalam Islam. Karena itu fokus isu yang selalu menjadi laras perjuangan kaum liberal terpusat pada enam isu: demokrasi, sekulerisasi, kesetaraan gender, kebebasan berfikir, perlindungan terhadap minoritas, dan ide tentang kemajuan.
Disamping banyak membahas tentang keenam isu seperti diungkapkan diatas ada beberapa aksi yang dilakukan oleh Formaci yang menimbulkan kontroversial, yaitu demonstrasi menentang kewajiban berjilbab bagi dosen dan mahasiswa UIN tahun`1994; menjadi saksi pernikahan beda agama; dan demonstrasi di Polda untuk membebaskan Lia Aminuddin dari jeratan hukum, demi menghormati kebebasan berfikir dan kebebasan berpendapat. Bukan berarti Formaci setuju dengan ajaran Lia Aminuddin, melainkan lebih kepada membela kebebasan berfikir dan kebebasan mengemukakan pendapat. Mengenai ahli kitab salah seorang anggota Formaci mengatakan sesesorang dianggap ahli kitab manakala ia patuh dan taat pada Tuhannya, baik itu penganut Islam, Kristen, Katolik, Hindu ataupun Budha. Karena pada dasarnya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha hanyalah simbol yang dibutuhkan sebagai ciri pembeda di KTP.
Diantara kesimpulan yang dikemukakan oleh Ibnu Hasan dan Reza,antara lain pluralitas kajian Islam di Indonesia harus dilihat sebagai salah cara dalam mengadakan kajian terhadap Islam dan salah satu cara berbicara tenntang Islam. Tidak ada alasan untuk menghapus, melarang, terlebih mengatasnamakan agama yang diklaim hanya punya satu kebenaran terhadap semangat ilmiah dan kemanusiaan. Namu permasalahan yang terpenting adalah bagaimana menyandingkan tradisi dengan modernitas. Berdialog secara kritis - dinamis - proporsional agar eksklusifitas pemikiran keagamaan sedapat mungkin bisa dihindari . Kerjasama antar berbagai kelompok sosial keagamaan menjadi niscaya, tanpa harus mendahulukan prejudice-prejudice kultural, sosial, maupun keagamaan.
Dikota Medan sdr Nuhrison M.Nuh dan Suhana mengkaji Faham Liberal yang dikembangkan secara perorangan, karena belum dtemukan sebuah lembaga yang bergerak mengembangkan faham keagamaan liberal. Sebenarnya di Medan belum terdapat kelompok atau faham liberal sebagaimana dikemukakan melalui fatwa MUI. Yang tepat menurut Rektor IAIN Sumatera Utara mereka yang mencoba menafsirkan kembali teks-teks keagamaan secara rasional disesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Sebagai contoh beberapa orang dosen IAIN tidak hanya mengikuti faham Hanafi, Syafi’i, tetapi mereka juga mengikuti faham Mu’tazilah. Faham Mu’tazilah ini bukan liberal tetapi rasional, artinya menggunakan akal lebih utama, tetapi tidak sama sekali meninggalkan teks. Menurut Prof . Dr HM Yasir Nasution teori-teori bisa berubah, tetapi fiqih tidak bisa berubah. Oleh karena itu masalah-masalah dibidang mu’amalat bisa berubah, sedangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah tidak bisa berubah dalam pengertian sami’na wa atho’na kepada Nabi, Sedangkan menurut DR Fachrudin (Wakil Rektor III) yang dikembangkan teman-teman dosen muda adalah berusaha memahami ajaran Islam sesuai dengan perkembangan zaman dalam artian agar tidak jumud, dengan melakukan kajian ulang terhadap tulisan-tulisan yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Menurutnya orang boleh saja berpikiran bebas asal tidak keluar dari tiga ketentuan yaitu: tauhid (aqidah), ibadah danmasalah sunnatullah.
Munculnya pemikiran rasional di wilayah kota Meda berawal dari dosen-dosen IAIN yang kuliah di S2 dan S3 pada awal tahun 1980an baik mereka yang kuliah diluar negeri dan di dalam negeri. Di kalangan dosen IAIN terdapat beberapa orang yang dianggap mengembangkan pemikiran Islam liberal. Perkerbangan pemikiran Islam Libral di Kota Medan sudah cukup berkembang, walaupun masih beredar dikalangan yang terbatas. Pemikiran ini dikembangkan melalui diskusi, dan jurnal ilmiah Analytica Islamica. Beberapa dosen yang dianggap mengembangkan pemikiran Islam liberal (rasional) yaitu: Prof.Dr Nur Ahmad Fadhil Lubis, Prof.Dr Hasyimsah Nasution, Prof.Dr Lahmudin Nasution, Prof.Dr Amiur Nuruddin, Dr Katimin, Prof.Dr Syahrin Harahap dan Dr Ramli Abd Wahid, sedangkan dikalangan dosen muda : Azhari dan Akmal.
Beberapa produk pemikiran yang dikembangkan diantaranya mengenai hubungan agama dan negara, pluralisme agama, kebebasan berfikir, masalah demokrasi dan metodologi memahami teks. Selama ini dikenal tiga konsep tentang hubungan antara agama dan negara: (a) agama dan negara menyatu (b) harus ada penyesuaian antara pemahaman agama dan peradaban manusia, (c) ada pemisahan antara agama dan negara. Mereka sepakat tidak ada negara Islam, maka yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua. Islam memang sempurna, tetapi ada perkembangan masyarakat, agar pemikiran agama itu sesuai dengan perkembangan masyarakat maka agama berfungsi sebagai sumber nilai terhadap penyelenggaraan negara. Ibn Khaldun mengatakan: negara yang terbaik adalah negara yang berdasarkan agama, tetapi dibentuk berdasarkan nilai-nilai manusiawi, dan agama yang paling banyak menyumbang nilai-nilai manusiawi adalah Islam.
Mengenai pluralisme mereka tidak sepakat dengan MUI, sebab kalau semua agama itu sama itu bukan plural namanya. Plural itu artinya banyak, paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kelompok dan masyarakat. Dengan mengembangkan paham pluralisme, menjadikan pandangan keagamaan seseorang tidak ekstrem, longgar tapi tidak mengganggu keimanannya. Kepanatikan berkurang dan menghargai orang lain. Dalam Islam harus menerima keragaman paham keagamaan secara internal, dan tidak boleh memaksakan suatu paham kepada kelompok lain. Sebab kalau hal itu dikembangkan akan menimbulkan konflik horizontal diantara umat Islam. Maka mereka tidak setuju adanya eksekusi terhadap kelompok yang dianggap sempalan.
Mengenai kebebasan berfikir dijamin oleh agama, tetapi dibatasi oleh kompetensi sesorang. Kebebasan yang bertanggung jawab sesuai dengan kompetensinya. Kebebasan harus berdasarkan etika/moral,estetika dan sosial. Terhadap mereka yang melakukan ijtihad kita harus menghormatinya, biarlah sejarah yang akan membuktikannya. Kecuali kalau paham tersebut menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan serahkanlah kepada pihak yang berwajib. Kalau melanggar hak asasi manusia, mereka boleh dihukum, tetapi pahamnya tidak boleh ditolak sepanjang tidak mengganggu keamanan dan hukum. Tiap-tiap orang dipersilahkan saja membuat pemahaman baru, asalkan tidak mengganggu hal-hal yang sudah ada.
Nilai-nilai demokrasi jelas ada dalam Islam, karena rakyat yang berkuasa, tetapi kekuasaan rakyat tersebut bukan secara individual tetapi melalui sebuah lembaga. Pada zaman Rasul dulu berbentuk ”musyawarah”. Musyawarah itu berlangsung sebagai antisipasi dan juga sebagai solusi. Demokrasi dalam Islam, bukan dalam arti liberal, bebas sebebas-bebasnya, tetapi harus ada batas-batasnya.
Dalam memahami teks, bila menyangkut masalah ibadah dainggap sudah final, karena hal itu sudah diatur secara rinci. Tetapi pada aspek mu’amalah, berkembang berbagai pemikiran, karean Al-Qur’an hanya mengatur secara garis besar saja, kecuali menyangkut perkawinan dan kewarisan. Dibidang hukum untuk merespon realitas kehidupan masyarakat agar dapat berjalan baik, digunakan kaidah maslahat. Dibidang mu’amalat dipentingkan maslahat daripada teks, inilah yang disebut dengan penafsiran substantive. Untuk menentukan sesuatu itu maslahat atau tidak digunakan pertimbangan akal. Maslahat itu ada tiga macam, yaitu ada maslahat yang bertentangan dengan nash, maka disebut maslahat batal (mulghah); kalau ada nash secara tegas, msekipun bertentangan dengan maslahat, tetap dipentingkan nash. Kalau ada maslahat yang bersesuaian dengan nash, maka ia memperkuat nash, contohnya tentang menegakkan keadilan, persamaan dan membantu orang lain. Dikala nash tidak mendukung dan melarangnya, tetapi akal mengatakan baik, maka pada bagian inilah hukum Islam mengembangkan kemaslahatan, Sebagai contoh Khalifah Umar membukukan Al-Qur’an berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Sasaran akhir dari syari’ah adalah maslahat, dimana ada maslahat distulah ada syari’ah. Dalam memahami teks lebih tepat menggunakan pendekatan kontekstual. Menagkap esensi/substansi atau ” maqosid syari’ah” (tujuan dari syari’ah).
Respon pemuka agama terhadap pemikiran yang dikembangkan, menurut Ketua MUI Sumatera Utara, masih berada dalam koridor yang ditetapkan oleh agama, walaupun ada pemikiran yang dianggap menyimpang, karena hanya dibicarakan dalam kelompok terbatas, tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Kedua peneliti menyimpulkan bahwa pemikiran yang dikembangkan tergolong liberal menurut versi Charles Kurzman, dan tidak tergolong liberal menurut konsep MUI Pusat.
Di Makassar sdr Muchit A.Karim dan Nahar Nahrawi mengkaji Faham Keagamaan Liberal pada kelompo LAPAR (Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat). LAPAR didirikan pada tanggal 17 April 1999 oleh beberapa aktifis mahasiswa yang concern dan pemihakan terhadap kaum tertindas. Visi Lapar adalah terbangunnya civiel yang berbasis lokal sedangkan missinya: menghidupkan nilai-nilai lokal menuju masyarakat kritis, egaliter,adil dan sejahtera. Dalam mewujudkan visi dan missinya tersebut LAPAR selalu mengacu pada basis nilai: egaliter, pluralis, humanis, adil, kerakyatan, jujur, dan independen. Yang dimaksud dengan pluralis adalah perbedaan dan keberagaman merupakan keniscayaan dan fitrah. Ia adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri dan dinikmati. Yang terpenting perbedaan dan keberagaman adalah menghidupkannya untuk dihargai, dihormati,dipahami dan dimengerti agar menjadi ruang belajar bersama bagi tegaknya kemanusiaan, bukan malah disingkirkan dan ditutupi untuk kemudian ditampilkan dan disatukan dalam kepura-puraan dan kepalsuan.
Program yang dikembangkan ; penelitian, investigasi dan advokasi pengelolaan SDA yang berkeadilan dan berpihak pada budaya lokal, pendidikan dan latihan, kampanye dan sosialisasi dalam bentuk penerbitan buku dan buletin, serta talk show di radio. LAPAR sangat concern pada pluralisme, karena pluralitas merupakan keniscayaan ilahiyah yang tidak dapat dipungkiri. Ada dua faktor yang mendorong LAPAR melibatkan diri dengan pluralisme. Pertama faktor teologis, LAPAR meyakini bahwa persoalan pluralisme merupakan takdir Tuhan, bahwa manusia memang diciptakan berbeda. Faktor teologis menjadi landasan utama dalam mengusung wacana pluralsime. Kedua faktor sosial, sejak bergulirnya reformasi Indonesia diterjang berbagai peristiwa sosial yang mengancam keutuhan kehidupan berbangsa. LAPAR memandang pluralisme tetap menjadi kebutuhan jangka panjang, kedepan orang bukan hanya menerima pluralitas sebagai kenyataan sosiologi semata, juga bukan sekedar memberi penghargaan semu terhadp fakta pluralitas melainkan bagaimana bisa hidup dalam suasana pluralitas itu sendiri tanpa ada konflik batin yang selam ini menjadi pertanda semunya penerimaan terhadap pluralisme. Pada tatanan ini bukan sekdar membiarkan perbedaan itu ada, tetapi juga sekaligus bisa memberikan ruang terhadap yang berbeda dengan ”kita” untuk mendapatkan pengakuan identitas yang sama, bahkan seharusnya antara yang satu dengan yang lainnya saling memberi dan saling mengisi. Sehingga kenyataan pluralitas dalam kehidupan berproses secara cair.
Hal yang utama mendorong LAPAR mengusung pluralisme adanya pergerakan sekelompok orang untuk menegakkan syari’at Islam akan berbuntut tertutupnya ruang untuk etnisitas, ras dan agama yang minoritas untuk dapat diterima masyarakat sebagai kenyataan kehidupan multikultural. Bagi LAPAR bukan sekedar membiarkan perbedaan itu ada, tetapi sekaligus bisa memberikan ruang terhadap yang berbeda, untuk mendapatkan hak dan pengakuan, identitas yang sama bahkan boleh jadi antara satu dengan lainnya saling memberi dan mengisi.
Kalau penelitian –penelitian sebelumnya pengkajian faham liberal dikalangan umat Islam, maka sdr Ahmad Syafi’i dan Ahsanul Khalikin mengadakan penelitian ”Faham Keagamaan Liberal dikalangan Umat Kristen Kota Manado”. Di Manado paham keagamaan liberal pada umumnya muncul dari kalangan cendekiawan kristen, dosen, dan mahasiswa. Ada kelompok yang bersifat Injili dikalangan mahasiswa, tetapi paham ini nampaknya sulit berkembang pada masa yang akan datang di dalam gereja-gereja. Secara garis besar di dalam gereja Kristen terdapat dua paham besar yaitu liberal dan Injili. Untuk menelusuri keberadaan kedua paham ini dalam masyarakat sangat sulit. Untuk itu seseorang harus dilihat dari sisi etikanya, sebab etika tersebut dipengaruhi oleh pahamnya. Menurut kelompok ini terdapat kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, kalaupun ada perbedaan hal itu terbatas pada pelayanan. Dalam masalah perkawinan beda agama, menurut pandangan Kristen tidak dianjurkan tapi tidak dilarang. Di dalam agama Kristen kalau keluar dari kebenaran firman Tuhan jelas salah. Jadi aliran apapun kalau sudah keluar dari kebenaran firman Allah jelas tergolong menyimpang. Mengenai keberagamaan, seseorang tidak boleh dipaksa, dan keselamatan itu tidak hanya milik umat Kristen. Untuk itu realitas masyarakat yang harus dibangun adalah saling hormat menghormati, saling menghargai antar pemeluk, kita tidak mungkin menganggap sesat dan lain sebagainya atau dengan istilah lain itu merupakan pelecehan terhadap agama dan melanggar hak asasi manusia.
Perbedaan penafsiran merupakan hal yang biasa, setiap gereja memiliki ajaran yang berbeda, namun kita tetap saling menghargai. Keyakinan seseorang itu dibangun dari apa yang dia mau, apa yang dia dengar, apa yang sudah dia alami, apa yang sudah dia miliki, oleh sebab itu tidak bisa dipaksakan kepada orang lain. Perbedaan yang ada ditengah masyarakat itu tidak ada masalah, tidak menjadi persoalan, seseorang yang memiliki kepercayaan dan memegang suatu keyakinan tidak bisa memaksa orang lain untuk menganut keyakinannya. Jangan sampai perbedaan-perbedaan itu dikonfrontir menjadi masalah di masyarakat. Mengenai kebenaran itu bersifat relatif, benar menurut kita belum tentu benar menurut orang lain.
Kelompok ini tidak setuju dengan istilah mayoritas-minoritas. Sebab kata tersebut seakan-akan memprovokasi, seolah-olah mayoritas itulah yang berkuasa. Kalau dalam bahasa hukum seolah-olah yang kauasa yang benar, yang minoritas merasa dirinya jadi warga yang tertindas.
Keberadaan faham liberal dalam agama Kristen masih dalam koridor yang dapat ditolerir oleh kalangan pendeta, dan kalau ada pendapat yang dianggap jauh menyimpang biasanya para pendeta memberikan tegoran dan rambu-rambu sebagai batas.
Syuhada Abduh dan Ridwan Lubis mengkaji organisasi keagamaan ”Legion Maria” pada masyarakat Katolik di Nusa Tenggara Timur. Legio Maria merupakan suatu perkumpulan umat Katolik yang dengan rsetu gereja dan bimbingan kuat dari Maria atau dapat juga disebut organisasi kerasulan awam dengan spiritualitas Maria yang mempunyai tujuan mengkuduskan anggota-anggotanya lewat do’a dan karya kerasulan dimana devosi (penghormatan) kepada Maria sebagai citra orang yang beriman sejati.
Untuk pertama kali Presedium Legio Mario dibentuk di Kota Kupang pada tahun 1965, yang diberi nama Presedium Maria Ratu Damai yang dipelopori oleh Pastor Yohanes Verskuren, SVD, presedium ini berkedudukan di Paroki Kristus Raja Kupang. Pada tanggal 2 Januari 1966 membentuk presedium di Paroki ST Yosef Naikoten dengan nama Presedium Bunda Allah yang masih berdiri sampai sekarang. Sampai sekarang Legio Maria ini sudah berdiri hampir diseluruh daerah di NTT.
Sebagai dasar dari beridirnya Legio Maria adalah Matius:20:28 yang berbunyi: ”Sama seperti anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”.
Suatu ketika ibu Yakobus dan Yohanes datang pada Tuhan Yesus datang pada Tuhan Yesus dan meminta supaya kedua anaknya itu dapat ikut memerintah kelak bersama-Nya. Dari permintaan itu, Tuhan Yesus secara pribadi mengajarkan kepada para muridnya bahwa kedatangan-Nya kedunia ini adalah untuk melayani bukan untuk dilayani. Melayani tidak sama dengan aktif dalam kegiatan gereja. Karena kegiatan bukan berarti pelayanan yang sesungguhnya. Pelayanan harus bersumber dari hati, yang merindukan supaya orang lain diberkati, mengenal Tuhan, diselamatkan dan didewasakan.
Sejak awal tujuan pokok Legio Maria menekankan kesejahteraan rohani yang disebut pengudusan diri. Legio Maria merupakan kelompok pembinaan rohani melalui karya kerasulan. Karya kerasulan dapat berkembang baik dan bermutu bila anggita Legio Maria berkembang kerohaniannya sebagai orang Katolik sejati, yang makin matang dan dewasa iman dan kasihnya kepada Tuhan dan sesama. Karena Legio Maria merupakan kelompok pembinaan rohani melalui karya kerasulan, maka yang terpenting dalam Legio Maria adalah spritualitas. Spiritualitas harus memberilkan dasar kerasulan Legio Maria, spiritualitas tidak lain adalah roh Allah sendiri yang hadir dalam kerasulan Legio Maria melalui Bunda Maria. Legio Maria menjadikan Bunda Maria model dan teladan sekaligus sumber inspirasi iman dan kasih. Supaya spiritualitas tetap terjaga diperlukan sistem pembinaan yang tepat dan intensip. Sistem pembinaan mengandung dua unsur pokok yaitu Doa dan Kerasulan dibawah bimbingan Bunda Maria. Seorang Legiony sejati adalah orang yang hidup dalam doa dan senantiasa bersemangat dan siap melaksanakan karya kerasulan (pelayanan).
Pimpinan dan umat Katolik Indonesia sangat menerima kehadiran Legio Maria di Indonesia. Hal ini terbukti dengan cepatnya berkembang Legio Mario diberbagai wilayah Indonesia termasuk hampir diseluruh Nusa Tenggara Timur.
Penelitian terakhir dari seri penelitian Faham Keagamaan Liberal Dalam Masyarakat Perkotaan di Indonesia dilakukan oleh sdr Mursyid Ali dan Asnawati pada komunitas Hindu di Propinsi Bali. Dalam tulisannya Mursyid Ali mengatakan bahwa perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Dengan mengutip Covarrubias, dikatakan bahwa kepariwisataan telah memberikan daya dobrak yang dahsyat, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat dan kebudayaan Bali. Termasuk perubahan dalam kehidupan beragama. Dalam menyikapi berbagai permasalahan di kalangan pemeluk agama Hindu Bali telah muncul gerakan/paham keagamaan kontemporer dari tokoh-tokoh Hindu. Gerakan ini umumnya terinspirasi oleh percik-percik pemikiran seperti Ram Mohan Roy, Dayananda Saraswati, Paramahansa Rama Krsna, Rabindranath Tagore, Svami Vivekananda dan Mahatma Gandhi.
Gerakan/paham keagamaan kontemporer tersebut kini sebagian telah terinstitusi dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia, sedangkan yang lainnya adalah Dharma Yatra, Satya Sai Center, Forum Penyadaran Dharma dan Forum-Forum lainnya. Pemikiran yang dikembangkan tersebut sesungguhnya merupakan tafsir aktual dari ajaran Veda. Penafsiran aktual memang dibenarkan menurut kitab suci asalkan tidak meningggalkan nilai filosofinya.
Dalam rangka membangun kehidupan harmoni , damai dan kasih sayang antar umat beragama dari seluruh agama yang ada di dunia, Vivekananda dalam pidatonya pada The Worlds Parliament of Relegious, 11 September 1893 di Chicago menawarkan institusi agama dengan keimanan universal. Ini merupakan gerakan Bhakti yaitu pengabdian melalui karya bersama dalam amal kemanusiaan yang dilandasi rasa kebersamaan, kekeluargaan dan kasih sayang.
Sementara itu pengikut Gandhi mendirikan Asram yang diberi nama Vidyapith sebagai tempat pembinaan moral, etika dan spiritual berbasis Ahimsa (tanpa kekerasan), serta Styagraha (berpegang pada kebenaran). Gandhi yakin bahwa dibawah pertentangan dan pemisahan kehidupan, terdapat prinsip kasih dan kebenaran. Kebenaran bersifat eksprimental, bukan teoritikal. Dalam menyikapi kepusparagaman umat beragama, Gandhi mengajarkan ”Swadharma Samanatya” yaitu memiliki pemikiran sederajat terhadap semua agama atau penghormatan terhadap tradisi setiap agama. Gandhi mengandaikan keaneragaman itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama. Melalui berbagai jalan manusia berziarah menuju ke satu tujuan bersama.
Salah satu kesimpulan yang dikemukakan oleh peneliti ialah: penafsiran ulang terhadap seperangkat nilai-nilai budaya dan ajaran keagamaan di Bali, diwarnai tarik menarik antara keinginan dan pemikiran untuk mengukuhkan wacana, dominasi tradisonal berhadapan dengan kehendak dan pemikiran pembaharuan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan modernisasi yang terus berubah. Kedua pihak sama-sama bertujuan untuk memurnikan ajaran agama dan ajeg Bali. Pemikiran tradisional banyak didukung oleh masyarakat di wilayah pedeesaan, sementara semangat transformasi dominan dikalangan cendekiawan dan kelompok terpelajar terutama dikampus-kampus.
Dari uraian sebelumnya jelas bahwa pemikiran keagamaan liberal tidak hanya terdapat dikalangan Islam, tetapi juga terdapat pada semua agama dunia. Pemikiran tersebut dikembangkan oleh tokoh-tokohnya dalam rangka menjawab tantangan zaman yang dihadapi oleh masing-masing komunitas keagamaan sesuai dengan kondisi dan situasi sosialnya. Pemikiran-pemikiran tersebut dikembangkan melalui penafsiran kembali teks-teks keagamaan dengan menggunakan metode penafsiran hermeneutika (kontekstual).
Untuk lebih lengkapnya, dipersilahkan para pembaca menikmati laporan masing-masing peneliti secara lengkap pada bab-bab berikutnya. Sebagai sebuah penelitian dengan pendekatan kualitatif, maka hasil yang diperoleh sangat tergantung dari kemampuan para peneliti sebagai instrumen penelitian untuk mengembangkan berbagai konsep sesuai dengan kondisi lapangan.. Dengan berbagai kelemahan dan kekurangan yang ada pada peneliti, diharapkan penelitian ini dapat menyajikan informasi yang objektif sehingga dapat digunakan oleh para pembaca untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan pemikiran keagamaan liberal itu. Dengan pemahaman tersebut diharapkan masyarakat dapat memberikan penilaian yang objektif, apakah pemikiran liberal itu tergolong menyimpang atau sebaliknya bermanfaat untuk memecahkan berbagai masalah sosial yang dihadap umat. Wa Allahu A’lam bi ash-Sawab.
Jakarta, 1 Agustus 2007

Nuhrison M.Nuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar