Pada tahun 2002 Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan mengadakan penelitian tentang Kaharingan di Kalimantan Tengah dengan mengambil lokasi di Palangkaraya dan Kabupaten Kapuas. Penelitian ini dilakukan karena adanya tuntutan dari sebagian penganut Kaharingan untuk diakui sebagai agama dan meminta agar ada struktur yang menangani Kaharingan di Departemen Agama.
Adapun temuan hasil penelitian tersebut dapat dibaca pada uraian dibawah ini:
Pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan pembinaan terhadap kepercayaan local dengan mengarahkan agar kepercayaan tersebut menginduk kepada salah satu dari lima agama besar. Dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut tidak selalu berdampak positif. Banyak penganut kepercayaan lokal yang merasa diposisikan secara marjinal dan hanya menjadi korban kebijakan pemerintah (Kustini, 2002).
Salah satu sistem kepercayaan lokal yang berkembang di Propinsi Kalimantan Tengah adalah Kaharingan. Kepercayaan tersebut dianut oleh sebagian suku dayak yang merupakan etnik dominan di wilayah tersebut. Pemerintah mengarahkan penganut kepercayaan Kaharingan untuk menginduk kepada agama Hindu sebagai agama induk, sehingga mereka dinamakan Hindu Kaharingan..
Era reformasi meniupkan udara segar buat pemeluk agama lokal untuk mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, terutama sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.. (Nuhrison, 2002).
Jumlah penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah ± 300.000 orang. Jumlah ini hanya perkiraan, tidak ada data yang pasti.
Menurut Basir (kyai dalam Islam) Tian Agan, Tuhan dalam agama Kaharingan disebut Ranying Hatala Langit, Jhata Balawang Bulan, Kanaruhun Bapager Hintan, Sahur Baragantung, Palapah Baratuyang Hawun. Artinya : Tuhan yang Maha Besar, yang memiliki Sinar Suci, kemuliaan yang tiada tara, tempat menaruh harapan yang tidak terbatas dan memiliki kuasa yang Maha Tinggi (bagaikan langit). Bumi dan langit serta alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Ranying Hatala Langit (Tuhan Yang Maha Esa).
Selain alam dunia, penganut agama Kaharingan juga percaya akan adanya alam gaib yang dihuni oleh Sangiang dan parajin sebagai pembantu Tuhan. Konsep ini hampir sejalan dengan konsep Malaikat dalam agama Islam.
Selain Sangiang sebagai pembantu Tuhan, penganut Kaharingan juga percaya bahwa ada orang yang menerima ajaran (berita) dari Tuhan (Nabi dalam Islam). Mereka adalah : Raja Bunu, Bawiyah (perempuan), Hawun Barun-Barun, dan Bandar Huntip Batu Api.
Bandar Huntip Batu Api (yang juga merupakan titisan Sangiang), kehadirannya sangat jauh jaraknya dengan ketiga nabi lainnya. Bandar tidak hanya menerima wahyu keagamaan tetapi juga ajaran-ajaran tentang sosial, politik moral, hukum adat, ilmu perang, ilmu pemerintahan dan cara-cara bermasyarakat. Oleh sebab itu Bandar Huntip Batu Api dikenal pula sebagai raja yang adil dan sukses. Ia diberi gelar “Anak Janatha Lampang, Hatuen Sangiang Hadurut, artinya anak sangiang yang menguasai air, dan dianggap anak Sangiang yang datang dari langit. Sampai sekarang setiap 41 minggu diperingati hari lahir Bandar Huntip Batu Api, yang disebut Sansana Bandar (membaca cerita tentang Bandar). Pada tahun ini (2002) diperingati kelahiran Bandar yang ke 11447. Ia tidak mati, oleh sebab itu tidak terdapat kuburannya.
Ibadah (ritual) dalam agama Kaharingan ada dua macam yaitu Manyanggar dan Basarah. Manyanggar yaitu memberikan sesajen kepada makhluk-makhluk halus agar dia tidak mengganggu (agar ia menghindari tempat tersebut). Sesajen itu diletakkan di tempat yang diperkirakan ada makhluk halusnya. Basarah artinya menyerahkan diri kepada Tuhan. Basarah biasanya dilakukan di Balai Kaharingan. Ada tiga macam basarah yaitu basarah perorangan, basarah keluarga dan basarah umum. Basarah perorangan yaitu berdo’a sendiri, menabur beras kuning, atau meletakkan telor di tempat-tempat yang sakral (keramat). Basarah Keluarga biasanya dikerjakan di rumah masing-masing, waktunya disesuaikan dengan kebutuhan. Sedangkan basarah umum diadakan di Balai Kaharingan, dihadiri oleh banyak umat Kaharingan.
Dalam setiap upacara persembahyangan atau upacara basarah, penganut Kaharingan juga bersama-sama melantunkan Kandayu atau nyayian suci. Ada beberapa jenis kandayu: a.Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja. b.Kandayu Mantang Kayu Erang . c.Kandayu Parewei.. d.Kandayu Mambur Behas Hambaruan.
Balian adalah suatu upacara ritual Kaharingan. Ada tiga kelompok besar upacara balian, Pertama, upacara balian untuk kesejahteraan hidup (15 upacara). Kedua, balian untuk roh leluhur penjaga desa wilayah (5 upacara). Ketiga, balian pada upacara kematian. Upacara Balian dipimpin oleh seorang Basir Ufu, (basir yang senior), dan didampingi oleh Basir pengampit. Dalam upacara Balian selalu dibunyikan “Katimbung”. Selain itu ada pula yang disebut “Manabur” yaitu beras kuning dikasih minyak kelapa, lalu dinyalakan kemenyan, kemudian ditabur baik bagi roh yang jahat, dan roh yang baik. Manabur dipimpin oleh “Pisur” (pembantu Basir atau orang yang punya pengetahuan setingkat).
Seluruh ajaran tentang keimanan, ritual dan tata cara pelaksanaan upacara bersumber pada satu kitab suci agama Kaharingan yang disebut Panaturan. Kitab ini terdiri atas 63 pasal, dengan tebal 652 halaman. Kitab suci ini ditulis dalam bahasa Dayak Kuno (Sangiang). Pada tahun 1996 kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui kerjasama antara Pemerintah daerah setempat dengan Hanno Kampff Meyer MA, seorang Mahasiswa Fakultas Antropologi dari Universitas Munchen Jerman.
Menurut keterangan beberapa orang pejabat pemerintah setempat, pada awalnya, semua orang Dayak merupakan pemeluk Kaharingan. Dalam perkembangan kemudian, sejalan dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah, penganut agama Kaharingan kemudian pindah ke agama lain. Sekarang ini penganut Kaharingan mengalami perpecahan, paling tidak menjadi dua kubu. Pertama, penganut Kaharingan yang ingin melakukan integrasi dengan agama lain. Kedua, mereka yang tetap ingin menjalankan agama Kaharingan secara murni. Secara realitas, eksistensi Kaharingan memang ada dalam masyarakat, oleh sebab itu pemerintah berusaha untuk memberikan pelayanan kepada mereka. Agama Kaharingan dan Agama Hindu jelas berbeda, kitab sucinya berbeda, jadi tidak bisa dua agama disatukan dan dua-duanya diamalkan.
Menurut keterangan salah seorang Informan ia merasa ditipu, suatu ketika ia diminta menandatangani surat pernyataan, sebagai dukungan keberadaan Kaharingan. Tetapi ternyata penganut Kaharingan bergabung dengan agama Hindu sehingga timbullah istilah Hindu Kaharingan. Agama Hindu Kaharingan percampuran dua agama menjadi satu yaitu ¼ Hindu dan ¾ Kaharingan. Kemudian Orang Kaharingan digiring mengamalkan ajaran agama Hindu. Akibatnya terjadi kamuflase, diluar Hindu tapi yang diamalkan adalah Kaharingan. Informan lain mengatakan semua orang Dayak adalah pengamal Kaharingan. Walaupun mereka memeluk agama lain (Kristen, Katolik, Hindu, kecuali Islam) tetap mengamalkan ajaran Kaharingan. Kebanyakan mereka memeluk agama lain (kecuali Islam) karena kepentingan tertentu, seperti untuk mengurus KTP, untuk bekerja. Dua orang dosen STAIN Palangkaraya mengatakan secara realitas Kaharingan adalah agama, paling tidak agama Bumi. Kalau agama Hindu dan Budha disebut agama Bumi, dan dilayani pemerintah, selayaknya agama Kaharingan, juga mendapat pelayanan dari pemerintah.
Mengacu pada pendekatan sosiologis, Kaharingan bisa digolongkan sebagai agama bumi atau agama lokal. Ajaran Kaharingan secara realitas masih diamalkan oleh orang Dayak, termasuk sebagian dari mereka yang sudah memeluk agama lain, selain Islam.
Faktor yang memungkinkan munculnya tuntutan untuk berdiri sendiri, adalah terjadinya perubahan kebijakan pemerintah terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan pada masa Orde Baru. Kebijakan ini terutama menonjol pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Disahkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, turut mendorong munculnya tuntutan untuk memisahkan diri dari agama Hindu.. Selain itu pada akhir-akhir ini adanya usaha dari orang-orang tertentu untuk melarang penganut Kaharingan untuk memakai atribut kaharingan dalam upacara-upacara keagamaan mereka (Hindunisasi).
Dalam menanggapi keinginan penganut Kaharingan untuk diakui sebagai agama, paling tidak ada dua pendapat. Pertama, pihak yang melihat bahwa keinginan itu hanya berasal dari segelintir orang yang terkait dengan kepentingan subjektif dari pengurusnya. Tetapi pada pihak lain menanggapi bahwa permintaan tersebut merupakan sesuatu yang wajar sehingga perlu direspon sejauh tidak bertentangan dengan aturan yang berlaku.
Mengingat secara realitas ajaran Kaharingan masih diamalkan oleh sebagian masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, maka agar kelompok ini tidak merasa di anak tirikan, maka diharapkan pemerintah daerah Propinsi Kalimantan Tengah mengakomodasi tuntutan mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Paling tidak bantuan untuk agama Hindu, disisihkan secara proporsional untuk Kaharingan, karena secara realitas penganut Hindu yang terbanyak di Kalimantan Tengah adalah penganut Kaharingan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar